Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. - Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; & Ketua PCM Pagedangan - Tangerang
TEMA KEPEMIMPINAN adalah salah satu tema yang senantiasa hangat untuk dibahas di berbagai kesempatan. Kepemimpinan juga merupakan salah satu soft skill yang sangat dibutuhkan untuk sukses di era saat ini.
Kepemimpinan itu bukan hanya harus dimiliki oleh seseorang yang menjadi Presiden, Kepala Daerah, atau pejabat tertentu di sebuah instansi. Kepemimpinan harus dimiliki oleh setiap insan. Dalam ajaran Islam, setiap individu siapa pun itu, sejatinya adalah pemimpin.
Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Seorang Amir adalah pemimpin, laki-laki adalah pemimpin untuk keluarganya, wanita adalah pemimpin di rumah suami dan anak-anaknya. Jadi setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (Muttafaq ’alaih).
Figur Ideal Seorang Pemimpin
Bagi umat Islam, figur ideal seorang pemimpin adalah Baginda Rasulullah SAW. Kepemimpinan Baginda Rasulullah SAW dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat yang heterogen, yang terdiri dari multi etnis, multi ras, bahkan multi agama saat itu.
Menurut Jules Masserman, seorang Profesor dari Universitas Chicago Amerika Serikat, bahwa untuk menjadi pemimpin terbaik di dunia harus memenuhi tiga fungsi. Fungsi pertama, seorang pemimpin harus menyediakan kesejahteraan bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Fungsi kedua adalah seorang pemimpin harus menyediakan suatu organisasi sosial dimana orang-orang yang dipimpinnya merasa aman berada di dalamnya. Fungsi yang ketiga adalah seorang pemimpin harus menyediakan suatu kepercayaan bagi pengikutnya.
Berdasarkan ketiga fungsi di atas, secara objektif Prof. Masserman yang seorang Yahudi itu berpendapat bahwa mungkin pemimpin terbesar sepanjang masa adalah Nabi Muhammad SAW yang mengkombinasi ketiga fungsi di atas.
Lebih jauh, Allah SWT menggambarkan keteladanan kepemimpinan Baginda Rasulullah SAW dalam Al-Qur’an surat Ali Imran [3] ayat 159 yang artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Ayat di atas menggambarkan salah satu sikap bijaksana dari Baginda Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin ketika umat Islam menderita kekalahan di perang Uhud. Kekalahan tersebut disebabkan oleh pasukan pemanah yang tidak patuh menjaga bukit.
Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imran [3] ayat 159 di atas, maka dapatlah diambil teladan kepemimpinan ala Rasulullah SAW sebagai berikut:
Bersikap Lemah Lembut
Pada peristiwa kekalahan perang Uhud, Baginda Rasulullah SAW memilih untuk bersikap lemah lembut kepada seluruh pasukannya yang terlibat di dalam perang Uhud. Walaupun, pasukan tersebut tidak taat atau melanggar instruksi yang diberikan oleh Baginda Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW tahu betul bahwa kemarahan, caci maki dan sikap-sikap tidak terpuji lainnya dari seorang pemimpin, tidak akan mampu menyelesaikan masalah dan tidak akan mengubah kekalahan menjadi kemenangan. Justru dengan sikap lemah lembut itulah kemudian pasukan umat Islam menjadi sadar akan kesalahannya dan tumbuh semangat untuk memperbaiki dirinya.
Rasulullah SAW sangat paham bahwa seorang pemimpin yang memimpin rakyatnya dengan sikap yang kasar lagi keras hati, tidak akan sukses dalam menjalankan amanah kepemimpinannya. Sikap Baginda Rasulullah SAW yang penuh belas kasih ini, dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat memikirkan penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128).
Mengedepankan Musyawarah dalam Pengambilan Keputusan
Pemimpin yang baik, bukanlah pemimpin yang bersifat otoriter dimana setiap keputusan yang diambilnya adalah keputusan individu pemimpin itu sendiri dan menuntut orang-orang yang dipimpinnya taat dengan keputusan yang diambilnya itu.
Pemimpin yang otoriter juga tidak memberikan kebebasan kepada orang-orang yang dipimpinnya untuk bertindak seperti yang diinginkannya. Tidak ada pilihan lain bagi orang-orang yang dipimpin kecuali taat kepada keputusan pemimpinnya.
Kepemimpinan Baginda Rasulullah SAW dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat yang heterogen. (Foto: Ist)
Berbeda dengan kepemimpinan ala Rasulullah SAW yang senantiasa mengedepankan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Baginda Rasulullah SAW senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat dalam menanggapi berbagai hal, termasuk peristiwa perang Uhud yang diabadikan oleh Allah pada Al-Qur’an surat Ali Imran [3] ayat 159 di atas.
Dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa pada peristiwa perang Uhud tersebut Baginda Rasulullah SAW menawarkan dua opsi kepada para sahabat yakni bertahan di Madinah atau keluar bertemu dengan musuh. Mayoritas para sahabat memilih opsi kedua sehingga Rasulullah pun memutuskan untuk keluar menghadapi musuh.
Bertawakal kepada Allah SWT
Sikap tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu hasil dari suatu keputusan atau pekerjaan atau keadaan. Sikap tawakal adalah sikap dimana seseorang menyerahkan hasil dari segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang telah dilakukannya kepada Allah SWT yang Maha Mengatur segalanya.
Dalam peristiwa perang Uhud di atas, setelah bermusyawarah dan berupaya sekuat kemampuan yang ada, Rasulullah SAW pun bertawakal kepada Allah SWT. Merujuk kepada peristiwa tersebut, maka menurut Buya Hamka, seorang pemimpin jika telah memutuskan sesuatu dan membulatkan tekadnya, maka jangan ada lagi perasaan ragu untuk menjalaninya.
Pemimpin yang sudah bertawakal kepada Allah maka akan yakin bahwa apa pun hasil yang ditetapkan oleh Allah atas keputusan yang diambilnya, adalah yang terbaik yang Allah berikan kepadanya. Dia paham betul dengan firman Allah SWT yang artinya:
“.... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
Siapa pun anda, terlebih anda yang berniat untuk maju sebagai calon presiden, wakil presiden, kepala daerah, atau anggota legislatif, maka wajib hukumnya untuk memperdalam pengetahuan anda tentang kepemimpinan ala Rasulullah SAW. Tidak ada kata terlambat untuk hal ini.
Jika sudah, maka selanjutnya anda wajib mengimplementasikan pengetahuan anda tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jika anda mengimplementasikan kepemimpinan ala Rasulullah SAW, maka anda akan berbahagia di dunia dan berbahagia pula di akhirat.
Demikian pula dengan kita yang memilih menjadi rakyat biasa, kita tetap wajib mempelajari lebih mendalam lagi tentang kepemimpinan ala Rasulullah SAW untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ingat, kita semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kita oleh Allah SWT. (*)
Ingat, kita semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kita oleh Allah SWT. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid