JAKARTA, iNewsSerpong.id - Jelang Lebaran, siapa yang tidak mendambakan Tunjangan Hari Raya (THR)? Hampir semua orang mengidamkan hal tersebut untuk menambah suka cita hari raya.
THR identik dengan tradisi bagi-bagi uang baru kepada para kerabat maupun anak kecil. Bahkan, tradisi ini marak juga diikuti dengan munculnya banyak jasa penukaran uang baru ketika mendekati hari raya Idul Fitri.
Menurut Pakar Antropologi Universitas Airlangga (Unair) Djoko Adi Prasetyo pada dasarnya tradisi pemberian uang diyakini berasal dari budaya Timur Tengah yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia.
Meski belum tertulis dengan jelas sejarahnya, kata Djoko tradisi THR kemungkinan berasal dari pengejawantahan bentuk sedekah sesuai ajaran Islam. Tradisi tersebut, tidak lepas dari proses akulturasi budaya masyarakat Indonesia.
“Beberapa catatan sejarah Kerajaan Mataram Islam, budaya ini sudah terjadi pada abad ke-16 hingga ke-18. Para raja dan bangsawan biasa memberikan uang baru sebagai hadiah kepada anak-anak para pengikutnya saat Idul Fitri. Hadiah uang baru tersebut mereka bagikan sebagai bentuk rasa syukur. Khususnya terkait keberhasilan mereka dalam menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh,” ujarnya dikutip dari laman Unair, Selasa (2/4/2024).
Soekiman Wirjosandjojo Pencetus THR
Djoko memaparkan, dalam catatan sejarah, terungkap bahwa pencetus THR pertama kali dilakukan oleh Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara.
Hingga saat ini, lanjut Djoko, masyarakat masih mempertahankan tradisi pemberian uang baru sebagai wujud kasih sayang dan rasa persaudaraan di antara keluarga dan kerabat.Tak cuma itu, Djoko menanggapi fenomena pergeseran kebiasaan berbagi THR karena teknologi uang elektronik. Menurutnya, meskipun THR saat ini bisa berwujud uang elektronik, hal ini tidak mengurangi makna simbol tentang kesucian dan kebersihan, ucapan terima kasih, rasa hormat, rasa bangga jika bisa berbagi, serta rasa bersyukur.
“Kita juga harus paham bahwa budaya itu tidak abadi. Selama budaya itu masih ada masyarakat pendukungnya, maka budaya itu akan tetap lestari. Demikian sebaliknya, apabila masyarakat pendukung budaya tersebut sudah tidak mendukung lagi, maka budaya itu akan terkikis dan bahkan musnah,” ucap Djoko.
(*)
Editor : Syahrir Rasyid