JAKARTA, iNewsSerpong.id - Pada hari Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan tentaranya menginvasi Ukraina, Arina telah berencana ikut kursus dansa sepulang kerja dan kemudian berpesta.
Namun tiga hari kemudian, guru bahasa Inggris itu justru membuat bom molotov di sebuah taman.
Saya memergokinya tengah duduk di rerumputan bersama puluhan perempuan lainnya. Dia sedang memarut bongkahan polistirena - seolah-olah benda itu adalah keju - dan merobek lembaran kain untuk membuat bom molotov.
Adegan seperti itu tidak terbayangkan oleh kebanyakan orang di Eropa. Pekan lalu Arina dan rekan-rekannya juga tidak berpikir bakal berbuat demikian.
Tapi, apa boleh buat. Seluruh warga Dnipro tanpa terkecuali siap mempertahankan diri melawan pasukan Rusia yang terus merangsek.
"Tak ada yang mengira beginilah cara kami menghabiskan akhir pekan," ujar Arina kepada saya.
"Tapi, sepertinya ini adalah satu-satunya hal penting yang harus dilakukan sekarang," tambahnya.
Wajah dan rambut guru berusia muda itu bertabur debu putih polistirena.
"Ini cukup menakutkan. Saya pikir kita tidak benar-benar menyadari apa yang sedang kami lakukan," ujarnya.
Tak begitu jauh dari lokasi Arina, Elena dan Yulia memberi tahu saya bahwa mereka meninggalkan anak-anak dengan kakek-neneknya demi membantu membuat bom Molotov.
"Duduk di rumah tanpa melakukan apa pun akan lebih menakutkan," kata Elena, tanpa berhenti memarut.
Dia lantas tertawa dan mengatakan bahwa dia adalah juru masak yang cemerlang. Menurutnya, proses membuat molotov tak jauh berbeda dengan meracik makanan.
'Saya tidak percaya ini terjadi pada kami, tetapi apakah ada pilihan lain yang kami miliki?" kata Elena.
Rasanya penduduk seluruh kota ini bangkit serentak bahu-membahu.
Tangga balai kota di dekat taman penuh dengan tumpukan sumbangan baju dan selimut. Orang-orang datang silih berganti membawa barang segala rupa, mulai dari bensin, air, hingga keperluan toilet.
Barang-barang ini nantinya akan diberikan kepada para petempur Ukraina serta penduduk Dnipro yang mengungsi. Sebagian bakal dipakai sebagai cadangan jika kota tersebut dikepung tentara Rusia.
Penggalangan ini dimulai dari inisiatif lima perempuan setempat berbekal sejumlah unggahan di media sosial.
Kini barang-barang yang datang semakin banyak dan beragam. Bahkan, ada area terpisah bagi mereka yang ingin memperoleh senjata dan ikut bertempur. Antreannya sangat panjang.
"Organisasi yang resmi kewalahan, jadi kami mendirikan pusat bantuan ini," kata Katerina Leonova.
"Apakah [Putin] benar-benar yakin bisa mengambil alih Ukraina dan me-Rusiakan Ukraina? Kami tidak takut. Kami marah," tuturnya. (*)
Editor : Syahrir Rasyid