JAKARTA, iNewsSerpong.id - Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang melarang kegiatan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sejak 1999, yakni UU Nomor 5 Tahun 1999. Nyatanya, hingga menjelang akhir 2024 praktik usaha tidak sehat itu masih ada.
Ini dibuktikan dengan adanya klausul eksklusif dalam perjanjian vertikan antara Agen Pemegang Merk (APM) dengan distributor atau dealer.
Praktik eksklusivitas ini memang jarang tercium oleh awam. Sebab terjadi antara APM dengan dealer. Seperti kesaksian beberapa pemilik dealer mobil di Indonesia. Salah satu dari mereka menyatakan bahwa selama ini pemilik dealer harus meminta izin kepada pemilik merek jika mau mendirikan usaha baru yang menjual merek lain.
“Dalam praktiknya kita harus permisi dulu kepada pemegang merek,” kata T, salah seorang pemilik dealer .
Dia juga juga menyebut ada tantangan yang dihadapi oleh distributor ketika ingin membuka jaringan penjualan merk lain. “Tantangannya ya, namanya distributor misal jadi nggak senang sama kita, kemudian tidak dikasih barang yang bagus, bisnis kita bisa mati sendiri,” ungkapnya.
Pemilik dealer mobil itu juga menyoroti bahwa jika eksklusivitas dibiarkan terus berlanjut, hal ini dapat menghambat pertumbuhan industri otomotif di Indonesia.
“Ada banyak pengusaha yang ingin masuk ke bisnis otomotif, terutama dalam penjualan mobil baru. Jika APM mau, peluang ini terbuka lebar,” imbuhnya. Hal ini tentu membawa dampak buruk bagi masyarakat yang tidak diberikan kesempatan untuk memilih banyak merk, sebab yang dijual hanya itu-itu saja.
Pemilik dealer lainnya A mengungkapkan, "Memang dalam klausul perjanjian tidak ada kata-kata tegas 'dilarang', tapi bahasanya dalam perjanjian adalah harus mendapatkan persetujuan APM. Dengan kata lain ya sebenarnya dilarang mendirikan tanpa izin APM, karena kalau dealer harus minta persetujuan ke APM sudah tau sama tau kalau APM susah kasi persetujuan, kalau pemilik dealer mau mendirikan perusahaan baru yang menjual mobil merek lain."
Di tengah permasalahan ini, muncul desakan agar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendalami isu praktik tidak sehat yang meresahkan para pelaku usaha. Sebagai pelaku usaha, pemilik dealer yang tidak mau disebutkan namanya ini pun mengaku mendukung langkah tersebut. ”KPPU dapat berperan sebagai pengawas, memberikan perlindungan bagi dealer misalnya ada praktik semena-mena begitu bahasanya, oleh distributor. Fairness-nya yang kita harapkan,” katanya.
D yang juga pemilik dealer mobil juga mendorong regulator untuk menginvestigasi klausul ekslusif antara pemegang merek dan investor. Menurutnya, investigasi perlu dilakukan apabila ada kecurigaan klausul eksklusivitas tersebut, sehingga dapat menggangu penjualan dealer. “Harapan kami tidak ada APM yang punya aturan soal ekslusif ini,” ucap D.
Praktik persaingan tidak sehat ini tidak hanya berdampak pada pelaku usaha, tetapi juga pada konsumen yang kehilangan akses ke berbagai pilihan produk berkualitas. Oleh karena itu, kolaborasi antara pengusaha dengan pihak berwenang sangat diperlukan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan adil.
Hal itu seperti yang diungkapkan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Mone Stepanus. Katanya, “Secara tidak langsung konsumen akan dirugikan, karena pilihannya akan barang yang diinginkan itu lebih terbatas.”
Mone menyatakan bahwa pada dasarnya, setiap bisnis pasti ingin berkembang. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengembangkan bisnis adalah dengan mencoba meningkatkan bargaining power. Namun ini harus sesuai dengan norma yang ada.
“Regulator harus memastikan bahwa peningkatan bargaining power tersebut tidak melanggar norma hukum, khususnya persaingan usaha yang tidak sehat,” tandasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta