Bos Djarum dan Prajogo Pangestu Lewat, Siapa Low Tuck Kwong, Orang Terkaya Indonesia Saat ini?

JAKARTA, iNewsSerpong.id -- Majalah Forbes menobatkan Low Tuck Kwong sebagai orang terkaya di Indonesia 2025.
Low Tuck Kwong berhasil menggeser Prajogo Pangestu dan Hartono Bersaudara dalam daftar orang terkaya di Indonesia tahun ini.
Forbes mencatat bos Bayan Resources ini memiliki kekayaan bersih sebesar 27,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp458 triliun.
Pria kelahiran Singapura ini dikenal sebagai raja batu bara berkat pendirian Bayan Resources. Di bawahnya, R Budi Hartono menempati peringkat ke-90 dengan kekayaan bersih 22,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp375 triliun. Bersama kakaknya, Michael Hartono, mereka masuk dalam daftar 100 orang terkaya di dunia, dengan Michael berada di peringkat ke-94 dengan kekayaan bersih 21,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp360 triliun.
Prajogo Pangestu menyusul di peringkat ke-99 dengan kekayaan bersih 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp335 triliun. Padahal, pada tahun lalu, Prajogo menempati posisi pertama dengan kekayaan bersih mencapai 43,4 miliar dolar AS.
Sementara R Budi Hartono dan Michael masing-masing berada di posisi ke-3 dan ke-4 dengan kekayaan sebesar 26,5 miliar dolar AS dan 25,5 miliar dolar AS.
Low Tuck Kwong, yang kini berada di posisi teratas, sebelumnya menduduki posisi kedua dengan kekayaan bersih 27,4 miliar dolar AS. Prajogo dikenal sebagai pengusaha di industri kimia dan energi, sementara Hartono Bersaudara terkenal dengan Djarum dan Bank BCA.
Low Tuck Kwong sudah berbisnis sejak remaja. Ia lahir dalam keluarga pengusaha sukses pada 17 April 1958 di Singapura. Ayahnya bermigrasi dari Guangzhou, China, ke Singapura saat Low berusia 3 tahun dan merintis perusahaan konstruksi sipil bernama Sum Cheong.
Pada usia 14 tahun, Low mulai membantu bisnis ayahnya, yang kemudian sukses di Singapura dan Malaysia.
Meski demikian, Low ingin sukses dengan caranya sendiri dan melihat Indonesia sebagai peluang besar untuk mengembangkan usahanya. Pada tahun 1973, Low mendapatkan proyek perdana berupa pekerjaan dasar pabrik es krim di Ancol, Jakarta Utara, pada usia 25 tahun.
Ia mengklaim sebagai kontraktor pertama yang menggunakan palu diesel untuk mempercepat pekerjaan.
Low kemudian mendapatkan terobosan besar saat bertemu dengan Liem Sioe Liong, pendiri Grup Salim, yang membuka pintu kerja sama dengan Liem dan putra bungsunya, Anthoni Salim.
Selain bermitra dengan Grup Salim, Low juga menggandeng anak perusahaan Pembangunan Jaya, Jaya Steel, untuk mendirikan Jaya Sumpiles Indonesia. Awalnya, kepemilikan saham berimbang 50:50, namun Low mengakuisisi semua saham perusahaan tersebut.
Bisnis batu bara Low dimulai pada tahun 1987, saat industri ini sedang berkembang di Indonesia. Jaya Sumpiles bekerja sama dengan beberapa penambang untuk melakukan pemindahan, penambangan, dan pengangkutan lapisan penutup.
Setelah mendapatkan pengalaman di industri batu bara dan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, pada November 1997, Low membeli konsesi pertamanya, yaitu Gunungbayan Pratamacoal di Kalimantan Timur.
Produksi perdana dimulai pada tahun 1998, bertepatan dengan krisis ekonomi di Asia, di mana pengiriman pertama batu bara justru mencatatkan kerugian 3 dolar AS per ton akibat merosotnya harga komoditas.
Seiring berjalannya waktu, keputusan Low untuk terjun ke bisnis ini terbukti tepat dan menguntungkan. Ia kemudian memperoleh konsesi dan saham mayoritas di Dermaga Perkasapratama, operator Terminal Batu Bara Balikpapan, salah satu yang terbesar di Indonesia, dengan kapasitas stockpile 1,5 juta ton atau 24 juta ton per tahun.
Pada tahun 2004, Low memutuskan untuk mengonsolidasikan asetnya dan mendirikan Bayan Resources, yang namanya diambil dari nama kabupaten setempat. Empat tahun kemudian, Bayan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Dana hasil IPO digunakan untuk mengembangkan konsesi, termasuk di Tabang, yang kini terdiri atas 12 izin pertambangan seluas 34.715 hektare, hampir separuh luas Singapura.
Meskipun memiliki bisnis energi terbarukan, Low tetap fokus pada bisnis utamanya, tambang batu bara, dan telah membangun banyak infrastruktur di Kalimantan Timur untuk menggali dan mengangkut jutaan ton batu bara.
Pada 2024, Low Tuck Kwong menghibahkan 22 persen saham PT Bayan Resources Tbk (BYAN) kepada putrinya, Elaine Low. Transaksi senilai Rp101 triliun atas saham BYAN dilatarbelakangi hubungan keluarga antara orang tua dan anak.
Low tetap menjadi pemegang saham utama dan pengendali BYAN, meskipun jumlah kepemilikan sahamnya berkurang dari 62,15 persen menjadi 40,15 persen.
Elaine akan menggunakan seluruh hak suaranya atas semua saham yang dimiliki sesuai keinginan ayahnya. (*)
Editor : Syahrir Rasyid