Jangan Terburu-buru Salahkan Guru, Ketegasan Guru Bentuk Karakter
Dalam pandangan Islam, guru berada pada posisi terhormat. Ulama dan para pendidik disebut sebagai pewaris para nabi, karena mereka memikul tugas membimbing umat, memperbaiki akhlak, dan menegakkan adab.
Maka ketika guru menegur anak, sejatinya ia sedang menjalankan amanah mulia untuk meluruskan perilaku.
Anak adalah titipan Allah. Orang tua memiliki tugas penting, tetapi mereka tidak mungkin hadir sepanjang waktu. Di sekolah, amanah itu diteruskan oleh guru. Itulah sebabnya guru adalah mitra, bukan lawan. Bila orang tua tidak percaya guru, pendidikan anak akan pincang.
Teguran guru bukanlah tanda kebencian. Justru di balik ketegasan, ada cinta yang ingin menuntun.
Karena itu, saat guru menegur anak, orang tua seharusnya tidak langsung naik pitam. Klarifikasi boleh, tetapi jangan berprasangka buruk. Bisa jadi memang anak yang perlu diarahkan.
Di era ketika semua orang mudah tersinggung, pesan Prabowo seperti alarm moral yang perlu didengar: Jika guru runtuh wibawanya, maka generasi akan tumbuh tanpa adab.
Peringatan Prabowo pada HGN 2025 tidak sekadar ucapan seremoni. Ini adalah ajakan untuk mengembalikan guru ke tempat terhormat—sebagaimana mestinya.
Menghormati guru berarti menjaga masa depan anak. Masa depan itu tidak hanya dibangun di rumah, tetapi juga di ruang kelas, bersama guru yang mendidik dengan penuh kesabaran, cinta, dan ketegasan.
Pada akhirnya, pesan ini sederhana: Percayalah pada guru. Bila ada masalah, selesaikan dengan adab. Karena adab adalah fondasi pendidikan, dan guru adalah penjaganya. (*)

Editor : Syahrir Rasyid