Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
DALAM Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 27, Allah SWT berfirman:
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).
Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”
Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa.”
Bersumber dari tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah, kisah ini diawali dengan dua manusia bersaudara, Habil dan Qabil putranya Nabi Adam, yang saling bersaing mempersembahkan kurban.
Salah satunya (Habil) mempersembahkan kurban yang paling baik yang dia miliki dengan penuh keikhlasan dan harapan agar kurbannya diterima.
Sementara saudaranya (Qabil), tidak bersemangat dalam bersaing sehingga dia hanya mempersembahkan sesuatu yang paling buruk yang dia miliki, kemudian dia duduk menunggu kurbannya diterima.
Allah menerima kurbannya Habil dan tidak menerima kurbannya Qabil. Hal ini membuat Qabil marah dan langsung mengancam akan membunuh Habil, tanpa berpikir penyebab ditolak kurban yang diberikannya.
Namun Habil menjawabnya dengan tenang untuk memadamkan api kebencian yang membara di dalam hati Qabil. Habil berusaha memberikan pemahaman kepada Qabil bahwa persaingan untuk mendapatkan ridha dari Allah adalah medan yang sangat luas dan cukup bagi seluruh hamba-Nya.
Habil pun menjelaskan bahwa pahala di sisi Allah tidaklah terbatas. Kesempatan begitu luas, maka tidak perlu bersempit dada dan bersedih hati. Seorang hamba sebaiknya sibuk memperbaiki diri, memurnikan dan mengikhlaskan niatnya, dan memperbaiki amalannya.
Habil mengingatkan kepada Qabil bahwa Allah hanya akan menerima amalan dari orang-orang yang bertaqwa. Taqwa adalah syarat untuk diterimanya suatu amalan.
Habil menjelaskan dan menyebutkan hal di atas, khususnya tentang taqwa dengan tujuan agar Qabil takut kepada Allah dan berhenti dari niat jahatnya itu.
Berdasarkan tafsir dari ayat di atas, maka kurban sejatinya adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh hamba Allah untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Penciptanya yaitu Allah SWT. Syekh As-Sa’di menjelaskan bahwa kurban bermakna mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karenanya, dalam fiqh kurban dijelaskan bahwa hewan yang dikurbankan adalah hewan yang terbaik dan tanpa cacat. Semakin berkualitas hewan yang dikurbankan, maka semakin besar pahalanya.
Dalam syari’at terdahulu, seorang hamba dapat berkurban sesuai dengan hasil dari usaha yang dilakukannya. Seorang petani dapat berkurban dengan hasil pertanian yang terbaiknya, begitu pula seorang peternak dapat berkurban dengan hewan ternak terbaiknya.
Allah tidak melihat jenis dari kurban yang diberikan. Keputusan Allah menerima kurban yang berikan oleh hamba-Nya bergantung kepada ketaqwaannya.
Dalam kisah di atas, Habil berkurban dengan domba terbaik dari hasil peternakannya. Sementara itu, Qabil berkurban dengan buah-buahan terburuk dari hasil pertanian yang dilakukannya.
Allah menerima kurbannya Habil karena dia memberikan kurban yang terbaik dengan landasan taqwa. Allah menolak kurban dari Qabil karena dia memberikan kurban yang terburuk dan terpaksa dalam melakukannya.
Kurban bukan hanya sekedar menyembelih hewan kurban. Tapi pada saat yang bersamaan hendaknya kurban tersebut dilandasi oleh ketaqwaan kepada Allah SWT.
Makna taqwa dalam berkurban adalah berkurban dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, kemudian tata cara melaksanakannya mengikuti contoh dari Baginda Rasulullah SAW.
Allah SWT berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka rahasia kurban yang pertama adalah terkait dengan diterima atau ditolaknya kurban seseorang. Diterima atau ditolaknya kurban seseorang terletak pada ketaqwaanya.
Seorang hamba yang bertaqwa dapat dipastikan dalam setiap amalan yang dilakukannya mencapai kualitas ikhlas. Pada saat yang bersamaan, tidak mungkin seseorang dapat ikhlas dalam beramal, jika dia tidak bertaqwa kepada Allah SWT.
Demikian pula di dalam berkurban, ikhlas dan taqwa tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh karenanya, agar kurban seseorang diterima oleh Allah SWT, maka kurban tersebut harus dilandasi oleh ketaqwaan dan keikhlasan karena Allah SWT.
Rahasia yang kedua adalah terkait dengan keistimewaan ibadah kurban itu sendiri. Penyebutan ibadah kurban dalam Al-Qur’an bergandengan dengan penyebutan ibadah shalat.
Hal ini dapat dilihat pada firman Allah: "Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (QS. Al-Kautsar: 2).
Selain itu, Allah SWT juga berfirman: “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku (kurbanku), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162).
Berdasarkan kedua ayat di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan kurban sangatlah utama karena Allah menyebutnya secara bergandengan dengan shalat. Shalat adalah ibadah yang pertama kali dihisab di hari kiamat. Jika shalatnya diterima maka diterima pula ibadah yang lainnya.
Dengan demikian, ibadah kurban adalah ibadah yang mengandung nilai yang sangat tinggi sekaligus memerlukan pengorbanan yang besar. Ibadah kurban juga merupakan upaya seseorang untuk mewujudkan kecintaannya yang sejati kepada Allah SWT.
Begitu istimewanya kurban, sehingga ibadah kurban bukan bertujuan untuk menghambur-hamburkan harta seseorang. Ibadah kurban merupakan bentuk mendahulukan kecintaan seseorang kepada Allah dibandingkan dengan yang lainnya.
Kurban dapat dimaknai sebagai perjuangan seseorang untuk menundukkan hawa nafsunya, membuktikan keikhlasannya, serta kesungguhannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, in syaa Allah melalui ibadah kurban ini, surga menjadi tempat kembalinya nanti. (*)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait