Dalam tradisi di Solo, kebo bule menempati barisan terdepan sebagai cucuk lampah barisan kirab. Bahkan kirab tidak akan terlaksana jika kebo bule tidak keluar dari kandangnya.
Sebelum kirab, sang pawang mengawali dengan ritual terlebih dahulu. Dengan dikawal pawangnya yang berpakaian putih, celana hitam, ikat kepala, samir, summing gajah ngoling (rangkaian bunga melati yang dipasang di telinga).
Kebo-kebo ini terlebih dahulu disuguhkan ubo rampe berupa kembang hingga meminum kopi yang dihidangkan oleh abdi dalem. Usai makan sesaji, rombongan kebo bule yang menjadi cucuk lampah kemudian pergi. Iringan peserta kirab pun dimulai.
Begitu keramatnya kebo ini, masyarakat selalu berebut kotoran kebo yang berjatuhan selama kirab. Mereka meyakini adanya berkah bagi siapa saja yang mendapatkan kotoran kerbau. Tak hanya kotoran, kembang yang tak dihabiskan oleh hewan pusaka serta air minum kerbau ini pun tak luput dari serbuan warga.
Dihimpun dari referensi laman keraton yang mengutip dari buku Babad Sala karya Raden Mas (RM) Said yang dikenal sebagai Adipati Mangkunegaran atau Mangkunegara I mengisahkan bila Kebo ini merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo Kiai Hasan Besari Tegalsari saat itu pada Paku Buwono II saat mengungsi ke Ponorogo. Pada zaman Keraton Mataram kuno.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait