Sementara, inflasi Rusia sudah melonjak hingga lebih dari 15% dan diproyeksikan masih akan melonjak. Rusia telah mengalami kontraksi 4% pada kuartal II/2022, berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Statistik Rusia. Padahal, pada kuartal pertama tahun ini ekonomi Rusia tumbuh sekitar 3,5%.
Meskipun tengah mengalami kondisi ekonomi yang tak menentu (bahkan anjlok), namun Pemerintah Rusia sudah bersiap memobilisasi ekonomi untuk masa perang yang lebih lama dengan Ukraina. Laman Financial Times menyebut, negara (Rusia) akan memiliki kuasa kontrol yang lebih besar atas bisnis swasta.
Hal itu menandakan bahwa Rusia tengah bersiap melakukan perang jangka panjang demi menguasai Ukraina. Selama mengalami sanksi, Rusia juga melakukan beberapa langkah agar selamat. Salah satunya adalah menaikkan suku bunga pada akhir Februari. Kebijakan itu dilakukan oleh Bank Sentral Rusia dari 9,5% ke rekor 20% per tahun.
Terkait pendapatan, The Washington Post menyebut bahwa Rusia mendapatkan hampir USD100 miliar (Rp1.450 triliun, kurs Rp14.500) pada 100 hari pertama perang dari ekspor bahan bakar fosil dan gas. Secara keseluruhan, nilai ekspor minyak dan gas Rusia mengalami penurunan lebih dari USD1 miliar per hari.
Negara yang menjadi importir bahan bakar fosil terbesar adalah China dengan nilai lebih dari USD13 miliar. Selanjutnya, ada Jerman yang membeli bahan bakar fosil asal Rusia sebesar USD12,6 miliar. Laporan CREA atau Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih Rusia mengungkapkan bahwa negara itu masih mendapatkan USD97 miliar hanya dari ekspor bahan bakar fosil dalam 100 hari pertama konflik.
(*)
Editor : Syahrir Rasyid