Setelah Islamisasi di daerah Sumatera Selatan, mayoritas masyarakatnya meninggalkan kepercayaan lamanya beserta ritual ini. Akhirnya, sekarang hanya dilakukan segelintir masyarakat Muratara saja.
Di sana, orang-orang menyebut mandi darah dengan sebutan Merabun Kemean. Jika ditanya ke mana daging hewan yang disembelih sebelumnya, jawabannya akan digunakan untuk syukuran dan sisanya akan dijual ke pasar.
Kearifan Lokal
Menurut salah satu sesepuh Desa Pauh, Hj Marhana, awal mulanya tradisi ini ritual warisan yang dilaksanakan sejumlah masyarakat untuk membayar nazar. Namun beberapa tahun terakhir, ritual ini berkembang menjadi sebagai bentuk rasa syukur.
Cermin kearifan lokal yang masih berkembang di masyarakat Rawas Ilir yang rata-rata berprofesi sebagai peternak sapi dan kerbau. Bagi mereka bisa mencapai pendidikan tinggi adalah suatu impian yang harus diraih dengan perjuangan. Dan jika sang anak mampu meraih gelar sarjana sudah tentu keluarga akan sangat bahagia dan mengungkapkan rasa syukur.
Selain dimandikan darahnya, daging sapi atau kerbau akan dimasak dan dimakan bersama warga satu kampung. Intinya tetap sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan doa agar si anak diberikan kesuksesan dan dijauhkan dari malapetaka.
Turun Temurun
Ada tradisi unik keluarga Abu Hendar (54), warga Desa Pauh I, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Muratara. Tradisi ini dilakukan secara turun temurun dari almarhum bapaknya, Jipri dan Marhana (74).
Setiap anak yang sudah menyandang gelar sarjana S1 maupun D3 dimandikan dengan darah kerbau. Kali ini, nazar mandi darah kerbau dilakukan untuk generasi ke-7, yakni seorang gadis cantik bernama Fitri Ramadona Siti yang baru saja menyandang gelar sarjana S1 jurusan Akuntansi.
Abu Hendar mengatakan, sebelumnya sudah tujuh keluarganya yang mandi darah kerbau yakni tiga saudaranya (anak Marhana) dan empat anaknya (cucu Marhana). (diolah dari berbagai sumber)
(*)
Editor : Syahrir Rasyid