Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
BEBERAPA hari yang lalu kita mendengar informasi terkait dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan dan dialami oleh pesohor negeri ini. Jauh sebelum kasus yang terakhir, telah terjadi KDRT yang juga dilakukan dan dialami oleh pesohor yang lainnya.
Kasus KDRT tidak hanya menimpa para pesohor, bahkan jumlahnya mungkin lebih banyak lagi yang dialami oleh masyarakat biasa. KDRT memang bukan barang baru, oleh karenanya terkadang KDRT dianggap sebagai hal yang lumrah. Tentu anggapan ini tidak dapat dibenarkan.
KDRT banyak dialami oleh istri, anak, bahkan ada juga yang dialami oleh suami. Penyebab dari KDRT itu sendiri bermacam-macam. KDRT dapat dipicu oleh masalah ekonomi, faktor sosial budaya, urusan ranjang, hingga kehadiran orang ketiga.
Mengantisipasi semakin kokohnya anggapan bahwa KDRT adalah suatu hal yang lumrah dalam rumah tangga, maka sejatinya Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Berdasarkan undang-undang tersebut, setiap orang dilarang melakukan KDRT. Kekerasan yang dilarang meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Ancaman hukumannya pun tidak main-main, penjara atau denda yang lama dan besarannya tergantung jenis KDRT yang dilakukan.
KDRT adalah tindakan yang dapat menyebabkan korbannya dapat mengalami cedera fisik dan atau psikis. Dampaknya mungkin tidak hanya dirasakan sesaat, namun dapat berlangsung cukup lama, bahkan bisa saja meninggalkan trauma sepanjang usia.
Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin, Islam membawa misi kasih sayang bagi semesta alam. Islam membawa ajaran yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan anti kekerasan. Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap KDRT?
Allah SWT berfirman: “Dan pergaulilah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa [4]: 19).
Pada ayat di atas, seorang suami diperintahkan oleh Allah untuk mempergauli istri dengan cara yang patut. Jika istri bersikap dengan sikap yang tidak disukai oleh suami atau ada hal lain dari seorang istri yang tidak disukai oleh suami, maka Allah memerintahkan suami untuk bersabar.
KDRT dapat dipicu oleh masalah ekonomi, faktor sosial budaya, urusan ranjang, hingga kehadiran orang ketiga. (Foto : Ist)
Terkadang kita tidak menyukai sesuatu atau kita sangat menyukai sesuatu, padahal apa yang kita tidak sukai atau yang kita sukai itu, bukanlah sesuatu yang baik untuk kita. Hal ini diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. At-Timidzi). Dalam hadits lain, Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Lembutlah kepada gelas-gelas kaca (maksudnya para wanita).” (HR. Bukhari).
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Ibunda Aisyah yang berkata bahwa: “Rasulullah SAW tidak pernah memukul apa pun dengan tangannya, tidak memukul wanita dan pembantu.” Hadits ini menjadi dasar bahwa seorang suami akan lebih utama jika tidak melakukan kekerasan kepada istri. Sikap lembut seperti ini akan memelihara rasa cinta antara suami dan istri.
Namun demikian, ada sebagian ulama yang seakan-akan mengizinkan seorang suami melakukan pemukulan kepada istrinya dalam kondisi tertentu. Pendapat para ulama ini didasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya:
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Perempuan-perempuan shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.” (QS. An-Nisa [4]: 34).
Nusyuz adalah sikap durhaka istri kepada suami dan merasa besar diri di hadapan suami. Istri dianggap nusyuz di antaranya adalah ketika tidak mau melaksanakan kewajiban utamanya yakni berbakti kepada suami secara lahir dan batin, serta tidak mau mengurus dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari. Nusyuz termasuk dosa besar.
Namun demikian, ada ulama yang mengatakan bahwa perilaku nusyuz tidak hanya berlaku untuk istri. Nusyuz juga berlaku untuk suami, walaupun istilah nusyuz bagi suami tidaklah populer. Salah satu ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Syarqawi.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Polemik terkait diizinkannya seorang suami memukul istri yang nusyuz, berawal dari perbedaan penafsiran dari kata dharaba (pukullah) pada ayat di atas. Sebagian ulama menafsirkan bahwa dharaba adalah benar-benar memukul (pukulan fisik) setelah tahapan demi tahapan peringatan diberikan kepada istri.
Sebagian ulama lain menafsirkan kata dharaba bukan memukul dengan kekerasan (pukulan fisik), namun lebih kepada teguran keras yang disampaikan secara simbolik, sebagai sikap ketidaksukaan suami terhadap perilaku istrinya. Oleh karenanya, tujuannya adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.
Ibn Abbas, Sa’id bin Jabir, al-Sya’bi, Atha’, Qatadah, dan lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in menafsirkan bahwa pukulan terhadap istri yang nusyuz adalah pukulan yang tidak keras, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Imam At-Thobari.
Pukulan yang tidak keras menurut Ibnu Abbas dan Atha` adalah pukulan yang tidak membuat luka, tidak mematahkan tulang atau pukulan dengan siwak (untuk gosok gigi). Kita mengetahui bahwa ukuran dan panjang kayu siwak tidaklah melebihi ukuran jari telunjuk. Sementara Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai pukulan yang tidak membekas.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka adanya syariat yang membolehkan pemukulan kepada istri adalah opsi terakhir setelah seluruh tahapan peringatan diberikan. Namun, tindakan memukul istri tidaklah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW, oleh karenanya meninggalkan pemukulan adalah lebih utama.
Pemukulan yang dilakukan kepada istri yang nusyuz adalah pemukulan yang tidak menimbulkan bekas, tidak menyakiti, dan bertujuan untuk mendidik. Oleh karenanya, ayat di atas tidak boleh dipahami sebagai syariat yang menganjurkan untuk melakukan KDRT kepada istri.
Terakhir, mari kita renungkan kembali firman Allah SWT: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum [30]: 21).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Islam membawa ajaran yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan anti kekerasan. (Foto : Ist)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait