Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. --Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; & Ketua PCM Pagedangan - Tangerang
MASIH TERBAYANG dengan jelas dalam ingatanku bagaimana sosok ayahku yang telah mendidikku hingga aku bisa seperti saat ini. Beliau adalah sosok yang tegas, disiplin, pekerja keras, dan sangat mengharapkan agar putra-putrinya bisa lebih baik dari dirinya.
Ayahku seorang yang visioner. Pernah suatu ketika di tahun 1980-an beliau berpesan bahwa suatu saat nanti kita akan hidup di suatu era yang disebut era globalisasi dan teknologi. Menurut beliau, pada era tersebut akan terdapat banyak peluang sekaligus tantangan bagi siapa pun.
Ayahku bukanlah seorang yang berpendidikan tinggi. Beliau hanya seorang yang berpendidikan Sekolah Rakyat (SR), setingkat Sekolah Dasar saat ini, di jaman penjajahan Jepang dahulu. Namun kecerdasan dan wawasannya dapat diadu karena beliau memang senang membaca.
Ayahku telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya pada tahun 1998, setelah berjuang untuk bertahan dari serangan berbagai penyakit. Sosok yang menjadi panutanku itu akhirnya menyerah dan wafat di sebuah rumah sakit setelah menjalani beberapa hari perawatan.
Begitu banyak pelajaran hidup yang beliau berikan kepadaku yang tidak mungkin aku ceritakan dengan panjang lebar di artikel yang terbatas ini. Namun, pada artikel Hikmah Jum’at kali ini, bayangan sosok ayahku itu telah menginspirasiku untuk menulis tentang tugas mulia seorang ayah.
Dalam Islam, ayah adalah sosok yang berkedudukan tinggi dan mulia. Kedudukan dan kemuliaannya itu sebanding dengan tugas berat yang harus diembannya dalam mendidik seluruh anggota keluarga khususnya anak-anaknya.
Ayahlah yang pertama kali memperkenalkan konsep tauhid kepada anak-anaknya. Dibisikkannya asma Allah ke telinga anak-anaknya untuk pertama kalinya. Diperdengarkannya pula kalimat tauhid sebelum anak-anaknya mendengar nama atau suara lainnya.
Ayahlah orang yang pertama kali memperkenalkan syariat Islam kepada anaknya seperti shalat, dengan mengajak anaknya untuk berjamaah di masjid. Ayah pula orang yang pertama mengajarkan tentang adab dan akhlak agar anaknya memiliki sopan santun dan berakhlak mulia.
Ayah menjalankan tugas mulianya sebagai penjaga keluarga seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim [66] ayat ke-6 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ...”.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa menurut Ali bin Abi Thalib RA, memelihara diri dan keluarga dari api neraka dapat dilakukan dengan cara mendidik dan mengajarkan ilmu (agama) kepada seluruh anggota keluarga.
Selanjutnya, Allah SWT menyebutkan nama-nama ayah hebat di dalam Al-Qur’an, baik dari kalangan para nabi dan rasul, maupun manusia biasa. Sebut saja nama dari kalangan nabi dan rasul seperti Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Ibrahim, Nabi Zakaria, dan nabi-nabi lainnya.
Sementara itu, dari kalangan manusia biasa, Allah SWT mengabadikan satu nama ayah hebat yaitu Luqman Al Hakim. Tidak hanya disebutkan namanya, Luqman Al Hakim juga dijadikan nama salah satu surat dalam Al-Qur’an yaitu surat Luqman yakni surat yang ke-31.
Jika kita baca satu per satu kisah para ayah hebat yang terdapat di dalam Al-Qur’an tersebut, tentu kita akan mendapatkan kesimpulan betapa berat dan besarnya tanggung jawab seorang ayah dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya.
Hanya ayah yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baiklah yang namanya Allah abadikan di dalam Al-Qur’an. Tidak dapat dibantah lagi bahwa nama-nama tersebut adalah figur ayah terbaik yang Allah pilihkan bagi para ayah di era sekarang.
Mungkin ada yang bertanya, bukankah putra pertamanya Nabi Nuh yang bernama Kan’an adalah durhaka dan tidak beriman? Ya, itulah kisah yang Allah sampaikan di dalam Al-Qur’an. Namun, sebagai seorang ayah, Nabi Nuh telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
Nabi Nuh telah mengajarkan Kan’an dengan baik, namun kembali lagi bahwa urusan hidayah bukanlah kewenangan manusia. Hidayah adalah kewenangan mutlak Allah SWT. Walaupun Nabi Nuh berharap agar anaknya selamat dari azab Allah, namun Allah berkehendak lain.
Kisah ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 45 yang artinya: Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.”
Permohonan Nabi Nuh Allah jawab dalam ayat yang ke-46 yang artinya: Dia (Allah) berfirman: “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”
Tak bisa dipungkiri betapa berat dan besar tanggung jawab seorang ayah dalam mendidik dan membimbing dan membesarkan anak-anaknya. (Foto: Ist)
Begitulah perjuangan seorang ayah, tidak hanya secara lahiriah namun juga batiniah. Perjuangannya tidak hanya dapat dilihat oleh mata, bahkan ketika anak dan anggota keluarganya terlelap tidur, dia bangun di waktu dini hari kemudian dia langitkan do’a-do’anya.
Sementara itu, Luqman Al Hakim adalah seorang manusia biasa yang karena kebijakannya dalam mendidik anak, namanya diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an. Nasihat Luqman dikenal sebagai pola pendidikan karakter Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Luqman [31] ayat 12 – 18.
Luqman menanamkan nilai-nilai tauhid kepada anaknya di atas segala-galanya. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kemu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13).
Seorang ayah juga teladan yang baik bagi anak-anaknya. Hal ini ditegaskan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sabdanya yang artinya: "Tidak ada suatu pemberian yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama daripada pemberian budi pekerti yang baik.” (HR. At-Tirmidzi).
Namun demikian, seberapa besar pun sayangnya seorang ayah kepada anaknya, dia tetap harus bersikap adil. Ketika anaknya melakukan kesalahan dan merugikan orang lain, maka dia tidak boleh membela dengan membabi buta. Lihatlah sikap Baginda Rasulullah pada hadits berikut ini:
“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terakhir, mari kita do’akan ayah kita semoga Allah senantiasa memberikan ampunan dan kasih sayang-Nya. Diberikan kesabaran dalam mendidik anak-anaknya, diberkahi segala usahanya. Terkhusus bagi ayah kita yang telah meninggalkan kita, semoga Allah menerima iman, Islam dan seluruh amal shalihnya, serta memaafkan segala kekhilafannya. Aamiin. (*)
Perjuangan seorang ayah tidak hanya dapat dilihat oleh mata, bahkan ketika anak dan anggota keluarga terlelap tidur, dia bangun di waktu dini hari kemudian dia langitkan do’a-do’anya. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait