
Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang.
SETELAH PERINGATAN Hari Kartini, 21 April yang lalu, banyak diskusi yang terjadi dan membahas tentang emansipasi wanita. Di antara tema yang banyak dibahas adalah Islam dan kesetaraan gender. Sebuah tema yang sering dijadikan sebagai peluru untuk mendiskreditkan Islam.
Bukan rahasia lagi, salah satu stigma buruk yang disebarkan oleh musuh Islam adalah bahwa Islam merupakan agama yang merendahkan kaum wanita. Islam tidak menghargai kedudukan wanita, memasung kebebasannya, hingga menjadikannya sebagai manusia kelas kedua.
Oleh karenanya, Islam dianggap sebagai agama yang menghambat perjuangan kesetaraan gender. Kemudian, wanita Islam dicitrakan sebagai wanita yang terbelakang, tersisihkan, tidak berdaya, bahkan tidak memiliki peran nyata di dalam kehidupan bermasyarakat.
Benarkah demikian?
Tentu jawabannya adalah 100% stigma dan tuduhan itu salah alamat. Mari kita lihat sebenarnya siapa dan bagaimana perlakukannya kepada wanita sebelum Islam datang.
Pada catatan sejarah, dapat kita baca baik secara tersurat maupun tersirat bagaimana dahulu kala, misalnya bangsa Yunani memperlakukan wanita. Demikian pula dengan bangsa Romawi.
Bagi bangsa Yunani, wanita lebih dianggap sebagai sarana untuk memenuhi kesenangan saja. Demikian pula dengan bangsa Romawi yang memberikan hak kepada seorang suami atau ayah untuk dapat menjual istri atau anak perempuannya. Sungguh keterlaluan, bukan?
Demikian pula dengan bangsa Arab sebelum kedatangan agama Islam. Mereka memberikan hak bahwa seorang anak dapat mewarisi istri ayahnya. Kaum wanita tidak memiliki hak waris dan tidak berhak memiliki harta benda. Bahkan mereka ketika itu telah terbiasa mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka yang terlahir ke dunia.
Kondisi ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an melalui firman-Nya yang artinya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58).
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait