HIKMAH JUMAT : Bersyukur Kunci Kebahagiaan

PENULIS : Dr. Abidin, S.T., M.Si.
Kebahagiaan sejati tidak selalu identik dengan melimpahnya harta, tingginya jabatan, popularitas yang terus meningkat atau diraihnya kesenangan duniawi. (Foto: Ist)

Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang

SETIAP MANUSIA pasti mendambakan kebahagiaan. Berbagai upaya dilakukan agar bisa menemukan kebahagiaan sejati yang dicarinya. Namun, banyak yang mencarinya di tempat yang salah, seperti mencari kebahagiaan dengan kekayaan, jabatan, popularitas, atau kesenangan duniawi.

Padahal kebahagiaan sejati tidak selalu identik dengan melimpahnya harta, tingginya jabatan, popularitas yang terus meningkat, atau diraihnya kesenangan duniawi, melainkan hati yang lapang dan jiwa yang tenang. Kalaupun dapat diraihnya dengan cara itu, kebahagiaannya adalah semu.

Islam mengajarkan bahwa untuk meraih kebahagiaan sejati adalah dengan cara bersyukur. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7).

Ayat ini menegaskan bahwa syukur tidak hanya menjaga dan mengikat nikmat, tetapi juga mendatangkan tambahan karunia, baik berupa ketenangan batin maupun rezeki yang nyata. Dengan rasa syukur itu pula, Allah menambahkan keberkahan-Nya kepada kita.

Syukur berasal dari kata syakara yang berarti menampakkan nikmat dan mengakui pemberi nikmat. Dalam Islam, syukur mencakup tiga dimensi, yakni syukur dengan hati, syukur dengan lisan, dan syukur dengan perbuatan (amal).

Seseorang yang bersyukur dengan hati artinya dia menyadari bahwa semua nikmat berasal dari Allah, bukan dari usaha dirinya semata. Adapun syukur dengan lisan adalah mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) dan menyebut kebaikan Allah. Sementara itu, syukur dengan perbuatan (amal) yakni menggunakan nikmat tersebut untuk hal yang diridhai Allah, bukan untuk maksiat.


Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
 

Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu, dan jangan melihat kepada orang yang berada di atasmu. Itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.” (HR. Muslim).

Hadits ini mengajarkan cara sederhana bagaimana menjaga hati agar selalu dapat bersyukur. Caranya adalah jangan sibuk iri pada mereka yang lebih kaya, tapi lihatlah mereka yang hidup lebih sulit daripada kita.

Orang yang tidak melakukan apa yang dijelaskan oleh Baginda Rasulullah SAW di atas, maka hatinya akan merasa gelisah karena selalu merasa kurang. Mereka membandingkan dirinya dengan orang lain, padahal setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda.

Syukur adalah obat hati yang menyembuhkan rasa iri, dengki, dan kecewa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d [13]: 28).

Berbicara mengenai syukur, maka Baginda Rasulullah SAW adalah sosok yang paling pandai bersyukur. Beliau adalah teladan utama dalam bersyukur. Dalam sebuah riwayat, Ibunda Siti Aisyah RA pernah bertanya kepada beliau yang rajin shalat malam hingga kaki beliau bengkak:

“Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu maupun yang akan datang?”

Beliau menjawab:

“Tidakkah sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Meskipun beliau manusia paling mulia, Baginda Rasulullah SAW tetap beribadah dengan penuh kesungguhan. Itu bentuk syukur tertinggi, yakni menjadikan ibadah sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah, bukan sekadar kewajiban.

Untuk bisa menjadikan syukur sebagai kunci kebahagiaan yang sejati, maka diperlukan proses latihan implementasi syukur dalam kehidupan sehari-hari. Membiasakan dzikir dan mengucap hamdalah setiap selesai beraktivitas adalah salah satu cara membiasakan diri selalu bersyukur.


Membiasakan dzikir dan mengucap hamdalah setiap selesai beraktivitas adalah salah satu cara membiasakan diri selalu bersyukur. (Foto: Ist)
 

Upaya lainnya misalnya dengan membiasakan menulis tiga nikmat yang kita rasakan, sekecil apa pun nikmat itu. Misalnya masih diberi sehat, punya sahabat baik, atau udara segar yang kita hirup. Cara ini dalam rangka melatih hati untuk menghargai hal-hal sederhana.

Bisa juga dengan cara membandingkan capaian kehidupan kita dengan orang lain yang lebih sulit. Jika kita sedang mengeluh, ingatlah ada orang yang lebih berat ujiannya dari kita. Dengan begitu, keluhan berubah menjadi kesadaran betapa banyak nikmat yang sudah kita miliki.

Atau, bisa juga dengan cara menggunakan nikmat untuk beramal shalih. Karena, syukur bukan hanya dengan ucapan, tetapi juga dengan tindakan. Misalnya raga yang sehat digunakan membantu orang lain, harta untuk sedekah, ilmu untuk mengajar, dan waktu untuk berbuat kebaikan.

Dan, yang terakhir adalah dengan meningkatkan sifat Qana’ah (rasa cukup) dalam hati kita atas segala bentuk nikmat yang telah Allah berikan. Qana’ah bukan pasrah tanpa usaha, tetapi menerima hasil usaha dengan ridha dan tetap bersemangat mencari keberkahan.

Syukur erat kaitannya dengan qana’ah. Baginda Rasulullah SAW bersabda:“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim).

Dari paparan di atas maka dapatlah kita simpulkan bahwa syukur adalah kunci kebahagiaan sejati. Dengan bersyukur, hati menjadi tenang, hidup terasa cukup, dan nikmat semakin bertambah. Sebaliknya, kufur nikmat membuat hati gersang, selalu merasa kurang, dan akhirnya jauh dari kebahagiaan.

Mari kita jadikan syukur sebagai gaya hidup dengan cara senantiasa mengingat nikmat Allah dengan hati, lisan, dan perbuatan. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang pandai bersyukur, sebagaimana doa Nabi Sulaiman AS:

“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai...” (QS. an-Naml [27]: 19).

Dengan syukur, kita tidak hanya bahagia di dunia, tetapi juga meraih derajat tinggi di akhirat. Dengan syukur, hati menjadi tenteram karena fokus pada nikmat yang ada, bukan kekurangan yang belum tercapai. Inilah kebahagiaan sejati yang tidak bisa dibeli dengan materi. (*)


Dengan bersyukur, hati menjadi tenang, hidup terasa cukup, dan nikmat semakin bertambah. (Foto: Ist)
 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Editor : Syahrir Rasyid

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network