JAKARTA, iNews.id - Untuk mengenang jasa para pahlawan, maka setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Setiap daerah di Indonesia memiliki orang-orang tertentu yang diberikan gelar pahlawan karena jasanya. Tidak terkecuali dengan Jawa Barat.
Dilansir dari berbagai sumber pada Rabu (10/11/2021), berikut ini pahlawan nasional dari Jawa Barat:
1. KH Zainal Mustafa
Sosok KH Zainal Mustafa dikenal karena khutbahnya yang dengan tegas menolak sikap kolonialisme penjajah. Ia lahir di kampung Bageur, Desa Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya pada 1899 di keluarga yang berkecukupan.
Menurut sumber, ia menempuh pendidikan formal di Sekolah Rakyat sebelum belajar ilmu agama di pesantren yang tersebar di Jawa Barat selama 17 tahun.
Pada 1927, ia kembali ke Tasikmalaya dan mendirikan Pesantren Sukamanah, dan bergabung dengan NU pada 1933. Pidato yang disuarakannya pada kegiatan dakwah di tahun 1940 mulai meyadarkan masyarakat dan memupuk kebencian terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.
Pahlawan Nasional asal Jawa Barat kelahiran Tasikmalaya, KH Zainal Mustofa.(Foto: Ist)
Hingga pada 17 November 1941, Zaenal Mustofa ditahan tentara Belanda dan dibebaskan Januari 1942. Setelahnya, ia melakukan rencana pemberontakan terhadap pemerintah Jepang dengan menyiapkan taktik serangan dua arah yang dilancarkan pada 25 Februari 1944.
Karena aksi patriotiknya melawan pemerintahan Belanda dan Jepang, pada 6 November 1972, dia diangkat menjadi salah satu pahlawan nasional dari Jawa Barat.
2. Djuanda Kartawidjaja
Ir H Raden Djoeanda Kartawidjaja merupakan Perdana Menteri Indonesia yang ke-10 sekaligus terakhir yang sempat memimpin Indonesia. Ia lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 14 Januari 1911.
Ayahnya merupakan seorang mantri guru di Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Di sanalah ia mendapat pendidikan sekolah dasarnya sebelum melanjutkan pendidikan hingga lulus dari echnische Hoogeschool te Bandoend (THS) pada 1933. Sejak muda, ia telah aktif mengikuri organisasi non-politik seperti Paguyuban Pasundan dan Muhammadiyah.
Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Berkat perjanjian ini, negara Indonesia menjadi negara kepulauan yang utuh dan berdaulat atas wilayah lautnya hingga kini.
Ir Djuanda Kartawidjaja
Di kemudian hari, Deklarasi Djuanda diresmikan menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Atas jasanya, pemerintah menganugerahi Ir. H. Raden Djoeanda Kartawidjaja dengan gelar pahlawan nasional pada 19 Desember 2016.
3. Otto Iskandardinata
Dikenal dengan sebutan Si Jalak Harupat, Raden Otto Iskandardinata lahir di Bojongsoang, Bandung, Jawa Barat, pada 31 Maret 1897.
Melansir Peranan Otto Iskandar Dinata Pra Kemerdekaan Tahun 1908-1945 karya Faisal Amri, ayahnya merupakan kepala desa dan merupakan keturunan bangsawan, membuat keluarganya cukup disegani masyarakat setempat.
Ia mengenyam pendidikan dan lulus dari Sekolah Guru Atas sebelum mengabdikan diri menjadi guru di Hollandsch Inlandse School (HIS) Banjarnegara. Pada 1920, ia dipindahtugaskan ke Bandung dan mulai menggeluti dunia politik.
Kemudian, ketika dipindahtugaskan kembali ke Pekalongan pada 1925, ia bergabung dengan Budi Oetomo. Ia juga turut andil dalam perumusan kemerdekaan dengan bergabung menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Pada kabinet pertama Indonesia, ia diangkat menjadi Menteri Negara dan ikut melakukan persiapan pembentukan Badan Kemanan Rakyat (BKR). Perannya yang besar dalam proses kemerdekaan Indonesia menjadikan Otto Iskandardinata diangkat menjadi pahlawan nasional pada 6 November 1973.
4. Dewi Sartika
Raden Dewi Sartika merupakan pahlawan asal Jawa Barat yang turut berjuang untuk emansipasi wanita di sekitarnya. Ia lahir di Cicalengka, 4 Desember 1884 dan berasal dari keluarga priyayi (bangsawan). Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikan di bidang pendidikan.
Melansir Perjuangan Dan Karya Raden Dewi Sartika Sebagai Pendidik karya Firdha Rahim Irawan, ia sempat bersekolah di Europesche Lagere Scholl, yakni sekolah kelas satu yang diisi atau diperuntukkan untuk anak para bangsawan.
Namun, karena sang ayah harus diasingkan di Ternate, ia hanya mampu mengenyam pendidikan hingga kelas tiga sebelum mengikuti pamannya.
Tahun 1902, Dewi Sartika pindah ke Bandung dan mendirikan Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung dua tahun kemudian. Latar belakang pembuatan sekolah putri ini adalah karena adanya kemunduran kaum perempuan di masyarakat Sunda pada masa itu.
Ketika pertama kali dibuka, Sekolah Isteri hanya memiliki 20 murid wanita. Tidak hanya belajar membaca dan menulis, murid Sekolah Isteri juga belajar keterampilan rumah seperti menjahit, merenda hingga belajar agama.
Pada tahun 1912, sudah ada sembilan Sekolah Isteri yang tersebar di seluruh Jawa Barat dan terus berkembang sejak saat itu. Di bulan September 1929, Sekolah Isteri berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.
Dewi Sartika
Berkat jasanya dalam mengangkat derajat perempuan, Dewi Sartika mendapatkan gelas sebagai pahlawan nasional pada 1 Desember 1966, 19 tahun setelah kematiannya.
(dilansir dari berbagai sumber/Andin Danaryati/Litbang MPI)
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta