MOSCOW, iNewsSerpong.id - Ancaman Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menciptakan Kiamat di Eropa bukan gertak sambal semata. Putin untuk memberikan ultimatum kepada Barat secara drastis meningkatkan risiko konflik nuklir.
Namun ultimatum tersebut mengundang kritik dari para pemimpin dunia yang menggambarkannya sebagai ancaman 'sembrono' dan 'tidak bertanggung jawab' sebagai upaya untuk menutupi kelemahan militer Rusia yang menghadapi kerugian besar dalam kampanye militer yang diluncurkan selama tujuh bulan terakhir di Ukraina.
Dijuluki 'Tsar modern', pengumuman Putin untuk menggelar operasi militer terbesar sejak Perang Dunia Kedua untuk bergabung dengan operasi militer di Ukraina telah menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik dapat menyebar ke seluruh Eropa.
“Kremlin akan menggunakan semua cara yang tersedia untuk melindungi integritas teritorial Rusia dan rakyat negara ini. Ini bukan gertakan, Setiap pihak yang mencoba memeras kami dengan senjata nuklir perlu mengingat bahwa angin juga dapat berubah arah,” tegasnya seperti dilansir RT Selasa (27/9/2022).
Peringatan keras itu secara luas ditafsirkan sebagai Putin yang berpotensi bersiap untuk mengerahkan senjata nuklir sebagai 'upaya terakhir' setelah kemajuan militer Ukraina untuk merebut kembali wilayah yang dikuasai Moskow.
Namun, para analis tidak percaya bahwa Putin menjadi negara pertama yang kembali menggunakan senjata nuklir sejak Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom atom di Jepang pada 1945.
Beberapa ahli mencoba menggambarkan skenario yang bisa diharapkan jika Rusia benar-benar meluncurkan serangan nuklir.
Simulasi yang dibuat oleh Science and Global Security (SGS) memperkirakan bahwa lebih dari 90 juta orang di dunia dapat terbunuh atau terluka dalam beberapa jam pertama setelah perang nuklir pecah.
Moskow mungkin akan menggunakan satu atau lebih bom nuklir 'taktis' yang berukuran kecil dan memiliki daya ledak 0,3 kiloton hingga 100 kiloton dibandingkan dengan hulu ledak strategis terbesar AS (1,2 megaton) atau bom 58 megaton yang diuji Moskow pada 1961.
Bom taktis dirancang untuk memiliki dampak yang lebih terbatas di medan perang jika dibandingkan dengan dampak senjata nuklir strategis yang dikembangkan untuk 'memenangkan' perang.
Ukuran 'kecil' dan 'terbatas' itu relatif karena bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada tahun 1945 hanya memiliki daya ledak 15 kiloton, namun berdampak dahsyat.
Analis juga percaya bahwa tujuan Rusia menggunakan bom nuklir taktis di Ukraina adalah untuk menggertak Kiev agar menyerah atau tunduk pada tekanan untuk bernegosiasi dan memecah belah negara-negara Barat yang mendukungnya.
Pakar militer untuk Program Keamanan Internasional CSIS di Washington, Mark Cancian yakin bahwa Moskow tidak akan menggunakan senjata nuklir di garis depan.
“Dibutuhkan total 20 bom nuklir kecil untuk area seluas kurang lebih 32 kilometer. Ini hanya 'kemenangan kecil', tetapi melibatkan risiko besar jika menggunakan senjata berbahaya seperti itu," katanya.
Sebagai langkah untuk menghindari korban massal, Kremlin mungkin meluncurkan bom nuklir di atas permukaan laut atau meledakkannya di ketinggian tinggi di wilayah udara Kiev untuk menghasilkan pulsa elektromagnetik yang akan menonaktifkan peralatan elektronik.
Di bawah skenario yang lebih mengerikan, Putin mungkin akan menargetkan pangkalan militer atau pusat kota seperti Kiev yang tentunya akan berdampak lebih besar dengan korban tewas dalam skala yang tak terbayangkan termasuk membunuh para pemimpin politik di Ukraina.
"Rencana seperti itu dirancang untuk melemahkan aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara ( NATO ) dan konsensus global melawan Putin," kata mantan pakar kebijakan nuklir Gedung Putih Jon Wolfsthal.
Sampai saat ini, Barat belum memberikan tanggapan yang jelas tentang bagaimana mereka akan menanggapi serangan nuklir taktis karena opsi yang tersedia diduga rumit.
AS dan NATO menolak untuk dianggap 'lemah' dengan ancaman tersebut, tetapi mereka ingin menghindari konflik yang lebih buruk di Ukraina sebisa mungkin, yang dikhawatirkan akan menjadi perang nuklir global yang lebih luas dan menghancurkan.
Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg bersikeras bahwa aliansi 30 negara anggota akan tetap tenang dan tidak terpancing.
(*)
Editor : Syahrir Rasyid