Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
BEBERAPA hari lalu kita dikagetkan dengan informasi adanya satu keluarga yang terdiri dari 4 orang meninggal dunia di dalam rumah mereka sendiri. Meninggalnya keempat orang tersebut baru diketahui setelah tercium bau tak sedap dari rumah tempat tinggal mereka.
Mereka meninggal dunia setelah 3 minggu tidak makan dan minum. Setidaknya itulah dugaan sementara penyebab meninggalnya keempat orang tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter forensik.
Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, semoga kejadian ini menjadi yang terakhir dan semua pihak dapat mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Untuk itu, Hikmah Jumat pekan ini akan membahas tentang konsep bertetangga dalam Islam.
Definisi dan Batasan Tetangga dalam Islam
Dalam Islam, terdapat perbedaan pendapat terkait dengan definisi khususnya batasan siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai tetangga. Ada yang mengatakan 40 rumah ke kiri, kanan, depan, dan belakang dari sisi rumah kita, ada juga yang membatasinya hanya 10 rumah. Pendapat lain mengatakan bahwa tetangga itu adalah mereka yang sering shalat subuh berjamaah dengan kita.
Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, pendapat-pendapat di atas didasarkan kepada hadits yang lemah. Oleh karenanya, beliau berpendapat bahwa definisi tetangga dalam Islam itu yakni sesuai dengan ‘urf (adat kebiasaan). Dengan kata lain, definisi tetangga dalam Islam adalah setiap orang yang menurut adat kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita.
Kedudukan Tetangga dalam Islam
Tetangga memiliki kedudukan yang istimewa dalam Islam. Saking istimewanya, Baginda Rasulullah SAW mengaitkan keimanan seorang muslim dengan sikapnya terhadap tetangga. Dalam sebuah hadits, Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lebih jauh dari itu, Malaikat Jibril sering menasihati Baginda Rasulullah SAW tentang tetangga, sehingga Rasulullah mengira bahwa akan turun wahyu yang menjadikan tetangga sebagai ahli waris. Sebagaimana sabdanya: “Jibril senantiasa menasihatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapatkan bagian harta waris.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu hebatnya kedudukan tetangga dalam Islam, sehingga sikap kita kepada tetangga menjadi ukuran keimanan kita. Bahkan terkait urusan tetangga ini pula, Malaikat Jibril sampai sering sekali memberikan nasihat kepada Baginda Rasulullah SAW. Luar biasa bukan kedudukan tetangga dalam Islam?
Berbuat Baik Terhadap Tetangga
Allah SWT berfirman: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa [4]: 36)
Berdasarkan ayat di atas jelaslah sudah bahwa sebagai seorang muslim yang beriman, diperintahkan oleh Allah SWT untuk berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada tetangga. Sikap baik ini, juga ditegaskan kembali oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Daud).
Implementasi Kebaikan dalam Bertetangga
Segala bentuk kebaikan yang merupakan cerminan dari keimanan seorang muslim, hendaknya diimplementasikan pula dalam kehidupan termasuk dalam hal bertetangga. Bersedekah dengan mengirimkan makanan atau minuman kepada tetangga, adalah salah satu contoh implementasi keimanan seorang muslim dalam bertetangga.
Hal ini disampaikan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik.” (HR. Muslim).
Konsep peduli kepada tetangga sangatlah ditekankan dalam Islam. Sampai-sampai dikatakan bahwa keimanan seorang muslim tidak sempurna jika dia tertidur pulas kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan. Baginda Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya.” (HR. At-Thabrani).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Baginda Rasulullah SAW pun bersabda: “Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan.”
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Termasuk berbuat baik kepada tetangga adalah sikap tidak meremehkan hadiah atau pemberian dari tetangga. Hal ini diingatkan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Wahai para wanita muslimah, janganlah ada seorang tetangga yang meremehkan hadiah tetangganya, walaupun kaki kambing.”
Selain bersedekah dengan makanan dan minuman, kebaikan lain yang bisa kita berikan kepada tetangga adalah membantunya pada saat tetangga kesulitan atau ada kebutuhan, menjenguknya ketika sakit, memberikan salam, hingga tersenyum dan bermuka ramah kepada tetangga. Sejatinya, masih banyak lagi kebaikan lainnya dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat.
Bertetangga dengan Non Muslim
Kebaikan kita kepada tetangga tidaklah terbatas hanya kepada tetangga sesama muslim, tetapi kepada semua tetangga, termasuk non muslim. Seluruh hadits maupun ayat yang terkait dengan sikap seorang muslim terhadap tetangga, tak ada satu pun yang membatasi sikap baik hanya untuk tetangga sesama muslim.
Namun demikian, tentu jika bicara hak, tetangga terdekat lebih berhak menerima kebaikan kita daripada tetangga yang lebih jauh. Kategorisasi yang diberikan oleh para ulama adalah:
- Tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan, maka dia memiliki 3 hak, yaitu hak kekerabatan, hak sesama muslim, dan hak tetangga.
- Tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, maka dia memiliki 2 hak, yaitu hak sesama muslim, dan hak tetangga.
- Tetangga non muslim, maka dia memiliki satu hak yaitu hak tetangga saja.
Sanksi Jika Menyakiti Tetangga
Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin, maka tugas seorang muslim yang beriman adalah mengimplementasikan keimanannya itu dalam berbagai amal shalih yang memberikan manfaat (rahmat) bagi seluruh alam. Jika hal ini dilanggar, maka terdapat konsekuensi berupa sanksi atau ancaman yang harus ditanggung di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak.
Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lebih dari itu, ancaman dimasukkan ke dalam neraka juga menanti bagi seorang muslim yang mengganggu tetangganya. Hal ini ditegaskan oleh Baginda Rasullah SAW, ketika ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah SAW menjawab: “Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka.” (HR. Al-Hakim). (*)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Definisi tetangga dalam Islam adalah setiap orang yang menurut adat kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita. (Foto : Ist)
Editor : Syahrir Rasyid