Felicitas Tallulembang tidak sebatas dokter yang selalu berhadapan dengan pasien. Ia juga kerap menemui masyarakat, terutama di pedesaan. Ia merasakan betapa tidak mudahnya masyakat mendapatkan layanan kesehatan, sama tidak mudahnya anak-anak mereka memperoleh layanan pendidikan yang memadai.
Dokter Sita—begitu dr Hj Felicitas biasa disapa—pernah menjadi Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Galesong Utara, daerah di pesisir pantai di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Penduduknya mayoritas nelayan. Kehidupan mereka jauh dari kata sejahtera.
Selama bertugas di sana, ia melihat realitas yang memilukan. Penghasilan masyarakat hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tahun berganti, tapi hidup mereka tetap seperti sebelumnya. Tak ada perubahan yang berarti dalam pola hidup mereka.
Pengalaman mendebarkan pernah ia rasakan saat bertugas di daerah ini. Masa itu ada program ABRI Masuk Desa Manunggal KB (Keluarga Berencana). Ia bersama tenaga medis lainnya ditugasi memasang alat kontrasepsi KB. Suatu ketika ia melakukan pemasangan susuk pada ibu-ibu di kampung itu. Sehari berselang, para suami datang. Ada yang bawa parang, meminta ia melepaskan kembali susuk di tubuh isterinya.
Tak ingin berurusan dengan suami-suami yang marah, permintaan itu ia penuhi. Seiring berjalannya waktu, karena kedekatannya dengan masyarakat, banyak suami yang mengantarkan sendiri isterinya untuk dipasangi susuk KB. Atas kejadian itu, ia dinobatkan sebagai juara satu dalam Penyuluhan KB tingkat nasional.
Di tengah kegiatannya sebagai dokter, ia mendapat tawaran menjadi tenaga medis Biro Perjalanan Haji Tiga Utama. Ia diminta mendampingi jamaah Tiga Utama menjalankan ibadah haji. Kesempatan itu sekaligus dia manfaatkan untuk berhaji. Sembilan kali musim haji ia menjadi pendamping jamaah, selama itu pula dr Sita melaksanakan ibadah haji.
Perjalanan waktu membawanya menjadi Kepala Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sinjai. Di sini ia banyak bersentuhan dengan masyarakat desa. Ragamnya pun menjadi luas. Di Galesong ia banyak melayani masyarakat nelayan, di Sinjai ia bersentuhan dengan nelayan dan petani. Sebagaimana halnya di Galesong, kondisi masyarakat di Sinjai saat itu tidak lebih baik.
Di saat yang sama suaminya, Andi Rudiyanto Asapa, menjabat Bupati Sinjai selama dua periode, 2003-2013. Selama masa itu, Felicitas urun rembuk membantu menggagas pembangunan Islamic Center hingga rampung sebelum masa jabatan berakhir. Marbot, imam masjid, dan penjaga kuburan pun bergantian diberangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umroh.
Sebelum menjabat kepala daerah, Rudiyanto seorang pengacara di Makassar. Sempat menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH) Makassar, Rudiyanto terakhir Dewan Pembina/Dewan Penyantun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebelum meninggal di Makkah, Arab Saudi, 30 Mei 2022. Kurang lebih sebulan Felicitas menemani suaminya selama dalam perawatan sampai menghembuskan nafas terakhir dan dimakamkan di Ma’la, pemakaman istri dan keluarga Nabi Muhammad SAW di Makkah.
Dokter Sita banyak berkunjung ke masyarakat di desa-desa bersama suaminya. Dari kunjungan itu melahirkan gagasan program kesehatan gratis. Dia tidak menyangka, gagasan membentuk Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Daerah (Bapel Jamkesda) dengan menggratiskan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin ternyata sama dan sebangun dengan program pemerintah pusat yang membentuk Badan Penyelenggara Jamiman Sosial (BPJS) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program ini diterapkan secara nasional mulai Januari 2014, tapi di Sinjai sejak 10 tahun sebelumnya.
Risau melihat keadaan masih banyak masyarakat yang bergelut dalam kemiskinan membawa dr Sita merasa perlu menceburkan diri dalam dunia politik. Sepuluh tahun menjadi kepala Puskesmas di kampung nelayan di Galesong Utara memberinya pengalaman batin yang amat berarti dalam melihat kondisi masyarakat. Pengalamannya makin kaya dan beragam saat menjabat kepala RSUD Kabupaten Sinjai.
Kenyataan itu membuat jalan hidup dokter lulusan Fakutas Kdokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ini berbelok arah. Dia memilih berhenti dari pegawai negeri sipil (PNS), meninggalkan jabatan kepala rumah sakit, untuk memasuki dunia baru: politik praktis.
Pemilu 2009, ia menjadi caleg Partai RepublikaN. Meski mendulang suara melebihi jumlah yang dipersyaratkan, tapi perolehan total suara partai ini tidak cukup mengantarnya berkantor di Senayan sebagai anggota DPR. Perolehan suara RepublikaN tidak melampaui ambang batas parlement threshold untuk bisa mengirim perwakilan ke Senayan.
Dokter Sita akhirnya memasuki dunia bisnis. Akan tetapi obsesinya untuk ikut mengambil bagian berperan dalam mengubah keadaan melalui panggung politik tidak pudar. Pilihannya memasuki menjadi anggota parlemen tetap terjaga.
Dia merasa visi dan misi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sejalan dengan cita-cita perjuangannya. Gayung bersambut. Ibarat panci ketemu tutup, Partai besutan Prabowo Subianto ini pun membuka pintu untuk perempuan kelahiran Rantepao, Sulawesi Selatan, 6 November 1959, ini.
Pemilu 2014, ibu dua anak ini dipercayakan menjadi calon anggota legislatif di daerah pemilihan Sulawesi Selatan III. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, kali ini perolehan suaranya tidak cukup mengantarnya ke Senayan. Ia akhirnya menjadi anggota DPR RI Pengganti Antar Waktu (PAW), menggantikan Andi Nawir Pasinringi yang meninggal dunia dua tahun sebelum masa tugas di parlemen berakhir.
Di parlemen, Felicitas ditugaskan di Komisi IV dan XI. Komisi IV bermitra dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Perum Bulog, dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Komisi XI bermitra dengan Keuangan dan Perbankan.
Pemilu 2024 ia kembali menjadi calon anggota legislatif dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan II, tetapi jalan untuk duduk kembali di DPR RI tidak kesampaian. Perolehan suaranya tidak mencukupi, tidak sebanyak dua calon lainnya dari partai yang sama. Kini ia dipercayakan menjadi Komisaris Independen Bank Syariah Indonesia. (*)
Editor : Burhan