Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; & Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
PERAYAAN IDUL ADHA 1445 H baru saja berlalu. Entah perayaan Idul Adha yang keberapa tahun ini sepanjang fase kehidupan kita. Mungkin ada yang kedua puluh, empat puluh, atau mungkin lebih dari itu.
Berapa pun hitungannya, tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah makna apa yang dapat kita ambil dari perayaan Idul Adha tersebut. Sejauh mana makna tersebut mampu mengoreksi diri dan perilaku kita sehari-hari.
Perayaan Idul Adha yang ditandai dengan pemotongan hewan kurban dan pendistribusiannya itu, sejatinya begitu sarat dengan makna. Bagi seseorang yang mampu menangkap maknanya, rangkaian ibadah pada perayaan Idul Adha akan mampu mengoreksi dan memperbaiki dirinya.
Seperti yang sudah kita ketahui, ibadah kurban merupakan pengabadian sejarah yang dialami oleh Nabi Ibrahim A.S. dan putranya Ismail A.S. Bahkan ada satu tokoh wanita yang luar biasa yakni istrinya Nabi Ibrahim sekaligus ibundanya Nabi Ismail yaitu Siti Hajar.
Mari kita coba maknai peristiwa bersejarah itu dengan mengaitkan antara kurban dengan diri kita. Sejatinya setiap diri kita adalah laksana Ibrahim, dan setiap diri kita juga memiliki sesuatu laksana Ismail.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Mengoreksi Rasa Kepemilikan dalam Hati
Jika Ibrahim adalah diri kita sendiri, maka Ismail dapat berbentuk harta, pangkat, jabatan, harga diri, ego, atau segala sesuatu yang sangat kita sayangi, selama kita hidup di dunia. Sesuatu yang untuk mendapatkan diupayakan dengan cara susah payah, tentulah untuk melepaskannya akan terasa sangat berat.
Sejatinya Nabi Ibrahim A.S. tidak diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya Ismail A.S. Allah SWT meminta kepada Ibrahim A.S. untuk membunuh rasa kepemilikannya kepada Ismail A.S. sang putra yang kelahirannya ditunggu-tunggu dalam waktu puluhan tahun.
Pada sisi pemaknaan ini, peristiwa kurban mengajarkan kepada kita bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang kita miliki adalah milik Allah SWT. Kita hanya dititipi oleh Allah SWT, sehingga kapan pun dan dengan cara apa pun Sang Pemilik akan mengambilnya, kita harus ikhlas untuk memberikannya.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadiid [57]: 20).
Mengoreksi Rasa Cinta dan Sayang
Jika ditilik dari rasa cinta dan sayang orang tua kepada anaknya, maka begitu cinta dan sayangnya Nabi Ibrahim A.S. kepada Ismail A.S. Kelahiran sang putra kesayangan yang dimintanya kepada Allah SWT secara langsung melalui do’a yang sangat indah, sehingga do’anya pun diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an.
Melalui peristiwa kurban tersebut, Allah SWT meminta kepada Nabi Ibrahim A.S. untuk membuktikan bahwa cintanya kepada Allah SWT melebihi cintanya kepada siapa pun dan apa pun makhluk Allah di muka bumi ini.
Rasa cinta yang berlebihan kepada anak, harta benda, pasangan, bahkan kepada orang tua, dapat menyebabkan kita terjerumus ke dalam kemusyrikan. Allah SWT berfirman yang artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. At-Taubah [9]: 24).
Pemotongan hewan kurban merupakan simbol sebagai hamba Allah dituntut untuk membunuh sifat dan perilaku tidak baik. (Foto: Ist)
Pada ayat yang lain, Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun [64]: 15).
Membunuh Sifat dan Perilaku Kebinatangan
Pelajaran lain dari peristiwa idul kurban adalah bahwa peristiwa pemotongan hewan kurban merupakan simbol bahwa kita sebagai hamba Allah dituntut untuk membunuh sifat dan perilaku, mohon maaf, kebinatangan yang mungkin ada di dalam diri kita.
Sifat rakus, perilaku seks bebas, LGBT, menghalalkan segala cara, tak peduli halal dan haram adalah di antara sifat-sifat dan perilaku buruk binatang yang mungkin ada pada diri kita. Sifat-sifat dan perilaku buruk ini semakin nampak dan terlihat jelas di tengah-tengah kehidupan kita saat ini.
Pepatah Melayu mengatakan: “Mengingat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akal.” Dengan kata lain bahwa akal-lah yang membimbing kita menjadi makhluk yang selayaknya disebut manusia. Manusia yang menggunakan akalnya dengan baik, itulah manusia yang beragama.
Perhatikan firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunya mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf [7]: 179).
Mari koreksi diri kita dengan mengimplementasikan makna-makna yang terkandung di dalam sejarah maupun prosesi ibadah kurban. Jika kita mau mengimplementasikan makna-makna seperti yang dipaparkan di atas, maka tidak mustahil akan ada perubahan besar di dalam kehidupan kita baik secara pribadi, berkelompok, berbangsa, maupun bernegara. (*)
Peristiwa kurban mengajarkan bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang kita miliki adalah milik Allah SWT. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid