Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
SETIAP HARI Jumat tiba, maka seluruh kaum muslimin diwajibkan untuk melakukan shalat Jumat secara berjamaah, kecuali yang memiliki udzur. Perintah ini terdapat dalam surat Al-Jumu’ah [62] ayat ke-9 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila (seruan) untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Pada saat shalat Jumat itu dilaksanakan, maka seorang khatib wajib menyampaikan pesan kepada seluruh jamaah yang hadir, yakni pesan takwa. Penyampaian pesan takwa ini bahkan menjadi rukun yang harus dipenuhi oleh khatib saat menyampaikan khutbahnya.
Oleh karenanya, tidak jarang seorang khatib mengutip firman Allah Ta’ala yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran [3]: 102).
Jika kita cermati ayat di atas, maka sejatinya ada dua pesan yang disampaikan oleh khatib kepada seluruh jamaah. Pesan yang pertama adalah perintah dari Allah untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya ketakwaan. Pesan kedua adalah larangan dari Allah yakni jangan sampai kita meninggal dalam kondisi tidak beragama Islam.
Pertanyaannya adalah, apakah ada seorang muslim yang mengaku dirinya beriman kepada Allah namun takwanya main-main alias tidak sungguh-sungguh? Lalu, apakah ada seseorang yang telah menjadi seorang muslim kemudian meninggal dalam kondisi tidak beragama Islam?
Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas, mari kita perhatikan lingkungan di sekitar kita. Perhatikan teman-teman kita, keluarga kita, dan bahkan perhatikan tingkah polah atau perilaku kita sendiri selama ini.
Selanjutnya, mari kita simak firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.” (QS. Fussilat [41]: 51). Adakah di antara kita yang berperilaku seperti ini?
Bisa jadi banyak orang yang hanya mendekat, beriman dan bertakwa kepada Allah di saat-saat tertentu saja. Saat sulit atau susah misalnya, dia mendekat kepada Allah. Di kala dia senang atau bahagia, dia kembali menjauh dari Allah Ta’ala.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Ada juga yang sebaliknya. Di saat dia bahagia maka dia mendekat, beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Dia pun merasa sedang dimuliakan oleh Allah. Namun, pada saat dia susah, dia pun menjauh dari Allah dan dia merasa sedang dihinakan oleh Allah Ta’ala.
Perhatikan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia memuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: Tuhanku telah memuliakanku; dan adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr [89]: 15-16).
Persepsi manusia seperti yang terdapat pada ayat di atas adalah persepsi yang keliru. Sayangnya, persepsi seperti itu banyak menjangkiti umat Islam. Padahal, ukuran keridhaan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya bukan dilihat dari banyak dan sedikit hartanya atau ukuran duniawi lainnya.
Oleh karena itu, bagaimana pun kondisi yang kita alami dan rasakan, maka hendaknya kita tetap menjaga ketakwaan kita. Tak boleh berkurang kadar ketakwaan kita hanya karena kesulitan hidup yang menimpa diri kita atau sebaliknya.
Selain itu, Baginda Rasulullah SAW juga bersabda: “Bertakwalah kamu kepada Allah dimana pun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik.” (HR. At-Tirmidzi).
Jadi berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang pertama di atas dapat dijawab bahwa memang banyak terdapat manusia di antara kita yang iman dan takwanya sangat bergantung kepada suasana, tempat, waktu, situasi, dan kondisi.
Keimanan dan ketakwaan seseorang yang seperti diuraikan di atas, dapatlah kita kategorikan sebagai keimanan dan ketakwaan yang tidak sungguh-sungguh alias main-main. Keimanan dan ketakwaan seperti inilah yang tidak diharapkan oleh Allah Ta’ala.
Terkait dengan pertanyaan yang kedua, mari kita simak firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa [4]: 137).
Na’udzubillahi min dzalik. Ayat di atas menjelaskan kepada kita akan adanya orang-orang yang telah beriman kepada ajaran Islam, kemudian dia kembali kepada kekafirannya. Setelah itu, dia beriman lagi dan kemudian kembali kepada kekafirannya lagi.
Ukuran keridhaan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya bukan dilihat dari banyak dan sedikit hartanya atau ukuran duniawi lainnya. (Foto: Ist)
Bukankah ada di sekitar kita orang-orang yang murtad? Awalnya mereka beragama Islam, kemudian karena satu dan lain hal, maka dia pun berubah haluan dan berganti agama, maka jadilah dia orang murtad alias kafir.
Apa jadinya, apabila mereka meninggal dalam kondisi murtad alias tidak beragama Islam? Tentu ini adalah kondisi dimana kematian tidak dikehendaki sejatinya. Karena kematian seperti itu akan mengantarkan dia ke dalam siksa api neraka yang kekal selama-lamanya.
Baginda Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Siapa pun yang akhir ucapannya (ketika menjelang ajal) kalimat La ilaha illallah maka ia masuk surga.” (HR. At-Thabrani, Al-Baihaqi, Al-Hakim dari sahabat Mu’adz bin Jabal).
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan penjelasan dari hadits di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini memberikan jaminan kepada orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah di akhir hayatnya, bahwa dia akan langsung masuk surga.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa tidak bisa langsung masuk surga, tetapi harus dibersihkan terlebih dahulu dosa-dosanya di dalam neraka. Setelah bersih, barulah dia dimasukkan ke dalam surga.
Namun demikian, Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik untuk mereka dari Kami, mereka akan dijauhkan (dari neraka).” (QS. Al-Anbiya [21]: 101).
Dengan kata lain, bahwa bagi orang yang berhasil mengucapkan kalimat La ilaha illallah di akhir hayatnya, artinya meninggal dalam kondisi beragama Islam, maka itulah kondisi meninggal yang terbaik.
Berdasarkan pendapat yang mana pun, baik itu masuk surga secara langsung tanpa dibersihkan dulu di neraka, atau pun dibersihkan dulu di neraka, pada intinya orang tersebut tidak akan disiksa selama-lamanya di dalam neraka, dan pada akhirnya tetap akan masuk surga.
Semoga kita senantiasa diberikan taufik dan hidayah oleh Allah sehingga mampu menjaga dan meningkatkan ketakwaan kepada-Nya. Kita juga berharap, semoga kita mampu menjaga kalimat tauhid di dalam hati kita dan di akhir hayat nanti kita mampu mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (*)
Tidak sedikit orang dengan iman dan takwanya sangat bergantung kepada suasana, tempat, waktu, situasi, dan kondisi. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid