Penulis: Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang.
HARI INI kita sedang berada di pertengahan bulan Rabbiul Awal 1446 H. Bulan Rabbiul Awal adalah bulan kelahiran orang yang paling mulia akhlaknya, yaitu Baginda Rasulullah Muhammad SAW, sehingga bulan Rabbiul Awal boleh juga kita sebut sebagai bulan akhlak mulia.
Tak kan habis cerita dan pembahasan mengenai kemuliaan akhlak baginda Rasulullah SAW. Karena kemuliaan akhlaknya, Allah pun memberikan pujian seperti yang terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Qalam [68] ayat ke-4, yang artinya: “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Akhlak memegang peranan yang penting dalam kehidupan seseorang. Selamat atau tidaknya seseorang dalam kehidupan di dunia ini, terlebih nanti di akhirat sangat bergantung kepada akhlaknya.
Jika akhlak yang dimilikinya adalah akhlakul karimah, maka selamatlah dia. Sebaliknya, jika akhlak yang dimilikinya adalah akhlakul madzmumah, maka celakalah dia.
Kerusakan akhlak suatu masyarakat merupakan gerbang menuju kepada kehancuran suatu bangsa. Baginda Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya:
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan setelah melakukan keburukan, lakukanlah kebaikan yang dapat menghapusnya. Bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Pada hadits di atas, Baginda Rasulullah SAW memerintahkan kepada umat manusia agar dalam bergaul, bermasyarakat atau bersosialisasi senantiasa mengedepankan akhlak mulia. Dengan kata lain, akhlak mulia adalah kunci keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan akhlak mulia, maka seseorang akan mampu menyelaraskan dirinya dengan ajaran Islam. Hal ini ditegaskan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang artinya: “Barang siapa beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik-baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, terdapat makna tersirat bahwa jika seseorang itu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, maka keimanan orang tersebut akan tercermin dalam perilaku dan sikap terpujinya (akhlak mulia), di antaranya dengan senantiasa berkata baik atau diam.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Orang yang benar imannya, maka dia akan sadar betul bahwa perkataan adalah pemicu timbulnya kebaikan atau keburukan. Dengan perkataan pula, persahabatan akan terjalin dan dengan perkataan pula perselisihan akan tercipta.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku hendaknya mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (dan benar). Sesungguhnya setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra [17]: 53).
Peribahasa kita mengatakan mulutmu harimaumu, maka berhati-hatilah dalam berkata-kata. Ucapkanlah perkataan yang baik dan benar, sampaikan dengan lemah lembut, dan jika tidak mampu untuk melakukan itu, hendaknya memilih diam.
Setan akan menciptakan perselisihan di antara manusia melalui kata-kata yang disampaikan dengan kasar, kotor, dan penuh kebohongan.
Ayat di atas adalah peringatan bagi kita semua, jika kita menginginkan bangsa ini baik-baik saja, maka hendaknya seluruh anak bangsa di negeri ini, termasuk para pemimpin, pejabat hingga rakyat biasa, berkatalah dengan perkataan yang baik dan benar, berucaplah dengan ucapan yang jujur.
Jika kebohongan menjadi tradisi di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, bersosial dan bermasyarakat, maka gerbang kehancuran itu sudah terlihat sangat jelas. Kehancuran itu tinggal menunggu waktu saja dan bangsa ini akan hancur berkeping-keping. Na’udzubillah.
Namun demikian, di atas akhlak mulia kepada sesama manusia, sejatinya terdapat akhlak mulia yang lebih utama lagi yakni akhlak mulia seorang hamba kepada Allah Ta’ala sebagai Tuhannya. Mari kita perhatikan firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa [4]: 36).
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala meminta kepada seluruh hamba-Nya untuk hanya beribadah kepada-Nya saja, dan jangan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun di dalam berbagai bentuk peribadahan yang dilaksanakan seorang hamba.
Akhlak memegang peranan penting dalam kehidupan seseorang. Selamat atau tidaknya seseorang dalam kehidupan di dunia ini, bergantung kepada akhlaknya. (Foto: Ist)
Menyembah Allah dengan penuh ketundukan, rasa cinta, takut dan berharap hanya kepada-Nya saja, itulah akhlak mulia yang wajib dilaksanakan, baik dalam ibadah individual maupun ibadah sosial. Dengan kata lain, ibadah sosial yang kita lakukan pun niatnya harus tulus dan ikhlas hanya mengharapkan ridha dari Allah Ta’ala.
Sudah menjadi sunatullah, bahwa perbuatan buruk yang dilakukan manusia akan mendatangkan murka dan azab Allah di tengah-tengah pelakunya. Hal ini telah Allah Ta’ala buktinya, melalui kehancuran umat-umat atau bangsa-bangsa terdahulu yang melakukan kedurhakaan kepada Allah.
Kaum ‘Ad, Tsamud, negeri Sodom, Fir’aun, dan masih banyak lagi bangsa-bangsa terdahulu yang telah Allah hancurkan sehancur-hancurnya. Kemudian kisahnya diabadikan di dalam Al-Qur’an sebagai pelajaran bagi kita dan umat-umat selanjutnya. Bahkan peninggalannya dan jasadnya masih dapat kita lihat dan pelajari secara langsung hingga saat ini.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. Ar-Rum [30]: 42).
Oleh karenanya, jagalah akhlak mulia kita kepada Allah dengan memurnikan segenap peribadahan kita kepada-Nya. Jagalah akhlak kita kepada sesama manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, berpolitik dan berkehidupan sosial ekonomi lainnya dengan berkata yang baik, jujur dan berintegritas.
Dengan akhlak mulia bangsa ini akan terhindar dari pertikaian, konflik, permusuhan, dan kehancuran. Namun, jika kerusakan akhlak yang tengah terjadi saat ini terus kita biarkan, maka kehancuran bangsa yang kita cintai ini tinggal menunggu waktunya saja. Na’udzubillah.
Dengan akhlak mulia bangsa ini akan terhindar dari pertikaian, konflik, permusuhan, dan kehancuran. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid