JAKARTA, iNewsSerpong.id - Ilham Nugraha tidak berhenti bermimpi tinggi kendati memiliki keterbatasan dari sisi ekonomi. Bahkan, dia berhasil mewujudkan cita-citanya meraih pendidikan tinggi demi mencapai kehidupan dan keadaan sosial yang lebih baik.
Ilham terlahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah, Ilham, warga kota Bandung, menjadi anggota pertama dalam keluarga intinya yang berhasil meraih gelar sarjana S1 dari Institut Teknologi Bandung dan kini tengah menempuh pendidikan S2 di universitas prestisius, Cornell University, di Ithaca New York.
Cornell University adalah salah satu universitas swasta terbaik dunia, yang berdasarkan situs US News di AS menduduki peringkat ke-22. Cornell adalah salah satu dari 8 universitas prestisius Ivy League di AS, seperti Harvard dan Columbia, yang dikenal bergengsi, elit, dan memiliki peringkat terbaik di dunia.
Universitas ini telah melahirkan tokoh-tokoh ternama, di antaranya penasihat medis utama Gedung Putih, Dr. Anthony Fauci, mendiang hakim agung AS, Ruth Bader Ginsburg, serta penulis ternama, Kurt Vonnegut, Jr, juga lebih dari 50 penerima hadiah nobel, dan lebih dari 100 atlet olimpiade.
Sambil berbahasa Sunda kepada VOA, Ilham menyampaikan kalimat yang selalu ia pegang, “naon wae pasti kahontal,” yang artinya, “keinginan apa pun pasti bisa dicapai dengan usaha.”
Ayah Sopir Taksi Online
“Orang tua saya adalah panutan utama,” ujar Ilham, dilansir dari VOA Indonesia.
Sejak lahir, Ilham tinggal di kota Bandung bersama kedua orang tuanya dan adik perempuannya. Ayah Ilham, Iwan Setiawan berprofesi sebagai sopir taksi di kota Bandung, sedangkan ibu Ilham adalah seorang ibu rumah tangga.
“Ceritanya sih Bapak dulu juga masih kuliah di UNISBA (red.Universitas Islam Bandung), tapi enggak sampai (lulus), mentok di tengah jalan. Ya, faktor biaya jugalah. Cari kerjaan serabutan ke sana ke mari, ya kebetulan ada hotel baru. Hotel internasional dulu, satu-satunya. Bapak ngelamar di situ. Alhamdulillah, keterima,” cerita Iwan Setiawan.
Pada waktu itu Iwan yang sudah menikah namun belum memiliki anak mendapat pekerjaan sebagai sopir yang mengantar jemput para tamu di hotel.
“Alhamdulillah, cukup waktu itu. Alhamdulillah, sampai bisa ambil rumah, BTN (Bank Tabungan Negara). Alhamdulillah, diasese (disetujui Bank, red.) dapat rumah tahun ‘97,” kenang Iwan seraya mengucap syukur berulang kali.
Namun, di usianya yang ke-55 tahun, Iwan terpaksa harus pensiun pada tahun 2016, karena masa kerjanya di perusahaan swasta sudah selesai, padahal Ilham saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
“Saya nanti kalau pensiun gimana? Anak masih kecil, masih pada sekolah,” cerita Iwan saat mengingat masa lalunya.
Hal ini pun menjadi motivasi Iwan untuk kembali mencari pekerjaan. Ketika bisnis taksi online mulai berjalan, Iwan bergabung dan melanjutkan profesinya sebagai sopir taksi.
Jadi dan Cari Orang Baik
Ilham kecil digambarkan oleh Iwan sebagai sosok anak yang “rajin, pintar,” “nurut sama orang tua,” dan memiliki cita-cita yang tinggi.
“Dia pintar, sebelum sekolah juga rumah dicoret-coret sama spidol, saya biarin saja. Lalu masuk TK bisa baca nulis (diajari) sama ibunya.” kenang Iwan.
“Di SD tuh dia penginnya nomor 1,” tambah pria berusia 60 tahun ini.
Untuk jadi nomor 1, Ilham melakukan berbagai upaya, termasuk berteman dengan orang-orang baik yang bisa membantu dia memahami pelajaran.
Seperti cuitannya di Twitter, “Jadilah orang baik, carilah teman orang baik, cari jaringan orang baik. Mereka akan membantu kamu,” Ilham mengaku mendapat kesempatan tambahan dari orang-orang baik.
“Saya numpang ke rumah teman, buat numpang internet. Numpang ke rumah teman buat belajar bareng. Jadi dengan seperti itu, saya bisa meng-cover apa yang tidak bisa saya dapatkan atau disediakan oleh orang tua karena keterbatasan ekonomi,” jelasnya.
Bertekad Kuliah
Setelah lulus SMA, Ilham mengaku sempat ragu apakah ia harus langsung bekerja atau meneruskan kuliah. Namun ia menyadari, jika ia langsung bekerja, ia mungkin tidak bisa “membawa nilai bagi keluarga” ke depannya.
Akhirnya, ia bertekad dan memberanikan diri untuk melanjutkan kuliah, walau masih harus memikirkan biaya.
Namun, orang tua Ilham juga berpesan untuk mencari yang bisa “kahontal” atau yang bisa terjangkau. Ketika itu Ilham mengikuti SBMPTN dan mendaftar ke SBM (School of Business and Management) Institut Teknologi Bandung, serta jalur mandiri UGM jurusan Hubungan Internasional.
“Alhamdulillah, dua-duanya keterima. Cuman ya di situ, waduh, gimana ini? Saya sebagai orang tua enggak memperlihatkan,” cerita Iwan.
Tangis bahagia sesaat mewarnai keluarganya. Tak pernah terbayangkan oleh Iwan bahwa putranya bisa diterima di universitas-universitas berprestasi di Indonesia.
“Enggak kebayang, yang penting anak saya bisa sekolah, kuliah,” ujar Iwan sambil mengusap air mata.
Tetapi, setelah tahu dirinya diterima di universitas, lagi-lagi Ilham diingatkan akan tantangan biaya kuliah yang cukup besar. Mengingat kondisi finansial keluarganya, Ilham pun tidak putus asa mencari solusi untuk mengejar cita-citanya, tanpa harus membebani orang tuanya.
“Saya nyari-nyari caralah. Kebetulan warnet udah dimana-mana jadi ya bisa lewat warnet juga saya cari-cari ya, ya istilahnya kita kan googling gitu ya, gimana caranya (dapat) beasiswa segala macam,” cerita Ilham.
Ia pun lalu mencoba mendaftar program beasiswa pemerintah BIDIKMISI, yang ditujukan kepada calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, namun memiliki potensi di bidang akademik. Tak disangka, Ilham pun berhasil mendapat beasiswa penuh BIDIKMISI dan bisa resmi kuliah S1 pada tahun 2017.
Mengingat rumahnya jauh dari kampus, Ilham memutuskan untuk mencari tempat kos yang lebih dekat agar bisa fokus pada kuliahnya. Sebagai bagian dari dana beasiswanya, ia mendapat uang saku kurang dari 1 juta per bulan untuk biaya hidup.
“Waktu itu, pihak kemahasiswaan ITB bikin kajian. Jadi anak-anak ITB itu minimal kalau mau hidup layak dalam tanda kutip, butuh lebih dari 1 juta rupiah per bulan,” jelas Ilham.
Untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Ilham pun berusaha mencari pekerjaan sampingan untuk membantu riset beberapa dosennya sebagai pendapatan tambahan.
“Dan kalau ada acara tuh, acara-acara di ITB kan suka ada makan-makan ya, nah saya ikut makan aja di situ,” kenang Ilham sambil tertawa.
Sebagai penerima beasiswa BIDIKMISI, tentu saja Ilham harus mempertahankan nilainya di kampus. Walau mengaku sempat “keteteran” di awal, Ilham juga diminta ikut aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yang harus ia laporkan setiap semester kepada direktorat kemahasiswaan, sebagai persyaratan beasiswanya.
Berbagai tantangan yang ia hadapi untuk bisa kuliah memang membutuhkan pengorbanan. Ilham mengaku harus mencuri-curi waktu untuk istirahat, di sela-sela kuliah, mengerjakan tugas, dan penelitian.
“Proses ini jadinya cukup melatih saya juga untuk bertahan di tengah keterbatasan yang ada. Jadi di tengah banyaknya keterbatasan, saya masih bisa untuk berkembang. Nah, itulah yang saya pelajari,” katanya.
Masa kuliah di ITB pun tidak Ilham sia-siakan. Ia bergaul dengan para akademisi di ITB, sebagai bekalnya dalam meraih mimpi untuk “memajukan kebijakan Indonesia.”
Mimpi S2 di Amerika
Setelah menempuh tiga tahun kuliah di ITB, tahun 2020, Ilham pun akhirnya lulus. Rasa keinginannya untuk melanjutkan studi pun kembali muncul. Kegigihan Ilham untuk menempuh pendidikan S2 diakui oleh Iwan.
“Aa’ pengin membahagiakan Ibu, Bapak,” ujar Iwan saat menyampaikan keinginan sang putra.
Tekadnya untuk melanjutkan pendidikan S2 sudah mulai Ilham tanam sejak sebelum lulus. Ia mempersiapkan diri, termasuk juga mengikut tes IELTS sebagai salah satu persyaratan untuk mendaftar kuliah di luar negeri, dengan berharap “sekali tembak” bisa mendapat skor yang cukup.
“Kenapa saya sekali tembak? Karena ya kalau berkali-kali tes mahal ya,” kata Ilham sambil tertawa.
Untuk bisa menjalani tes IELTS yang biayanya mencapai sekitar Rp3 juta , Ilham pun kembali ditantang untuk menyisihkan uang bulanan.
“Jadi makan siang saya coba potong, saya cari kupon makan siang,” ceritanya.
Awalnya, Ilham berkeinginan untuk melanjutkan studi S2 ke Inggris atau Eropa. Namun, saat melihat kondisi COVID-19 mulai membaik di awal tahun 2021, ia pun lalu melebarkan tujuan studinya hingga ke Amerika Serikat. Dua universitas, yaitu Cornell University di Itaca, New York dan University of Chicago di Chicago, Illinois menjadi pilihannya.
Pilihan ini ia tetapkan setelah mempelajari skema beasiswa pemerintah LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang menunjukkan daftar perguruan tinggi utama dunia, di mana 12 universitasnya ada di Amerika Serikat.
“Sederhana banget alasannya, yang masih buka tuh tinggal Chicago dan Cornell gitu,” kata Ilham sambil tertawa lagi.
Sayangnya dirinya gagal diterima di University of Chicago. Harapannya kini bergantung pada Cornell University. Ilham memilih universitas swasta yang sudah berdiri sejak tahun 1865 ini karena melihat banyaknya Indonesianis di sana.
“Jadi saya pikir saya bisa belajar lebih banyak soal kebijakan publik, tidak hanya dari sudut pandang Amerika Serikat dan para ahlinya di sini, tapi juga ada unsur Indonesia yang kalau saya enggak sempat bawa dari Indonesia ada di (AS),” jelasnya.
Dengan telaten ia lalu melengkapi seluruh dokumen yang diminta oleh Cornell University. Ia pun harus menulis dua esai. Esai pertama berisi tentang latar belakang mengapa ia ingin kuliah di Cornell, bidang apa yang ingin ia dalami, serta rencana setelah nanti lulus dari universitas bergengsi itu.
Dalam esainya yang kedua, Ilham mengangkat topik permasalahan urusan publik atau public affairs, mengambil kasus yang berhubungan dengan aturan di bidang sains dan teknologi, dengan pendekatan yang mengarah kepada pemerintah.
Ia pun menceritakan pengalamannya melakukan kuliah kerja nyata di sebuah desa yang berlokasi di kabupaten Bandung barat, di mana kebutuhan teknologi warganya belum mendapat dukungan kebijakan yang baik dari pemerintah.
Ilham juga diminta untuk memasukkan surat rekomendasi dari beberapa dosen, serta melalui proses wawancara.
“Wawancaranya kebetulan recorded interview, jadi tidak begitu menegangkan. Apalagi saya saat itu sudah lama tidak berbicara dalam bahasa Inggris. Jadi kebiasaannya bahasa Sunda dan bahasa Indonesia selama saya ada di rumah, bertahan dari COVID-19,” katanya sambil bercanda.
Kerja keras dan kegigihan Ilham pun akhirnya terbayarkan setelah mendapat kabar bahwa dirinya berhasil diterima untuk menjadi mahasiswa S2 jurusan administrasi publik di Cornell University.
“Jadinya agak histeris gitu manggil, ‘Ibuuu…...’” kata Ilham yang juga diterima di 3 universitas lain di Inggris.
“Wah, itu lumayan melegakan dan sedikit memusingkan, karena ‘oh iya, ini harus daftar beasiswanya,’” tambahnya.
Berjuang Raih Beasiswa LPDP
Walau Ilham sudah diterima secara resmi oleh pihak Cornell University dan mendapat Letter of Acceptance (LOA), ia masih memerlukan biaya untuk kuliah. Untungnya pada saat yang bersamaan pendaftaran untuk beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibuka.
“Ada kesempatan nih, cuman yah belum pasti juga gitu walaupun saya dapat perguruan tinggi utama dunia, belum tentu juga saya bisa dapat itu. Tapi ada harapan, harapan itu yang saya pegang,” kata Ilham.
Ketekunannya membuahkan hasil. Akhirnya Ilham meraih beasiswa yang ia inginkan untuk bisa kuliah S2 di luar negeri.
“Ibu lagi nonton sinetron, saya ganggu tuh, ‘Bu, Bu, dapat nih beasiswa.’ Nah, itu baru tuh senang,” ujarnya sambil tertawa mengenang kebahagiaan itu.
“Dia bilang, ‘Pak, Alhamduilllah Aa’ lolos di LPDP.’ Wah, saya gimana ya? Enggak bisa ngebayangkan, terharu bahagia. Ya, itulah keinginannya. Dia tuh gigih sekalilah kalau pengin menempuh sekolah, ngambil s2,” cerita Iwan sambil terharu.
Walau sudah lolos LPDP, Ilham masih harus mencari biaya untuk membayar aplikasi visa. Pasalnya, LPDP baru akan mengganti pembayaran tersebut di kemudian hari.
Namun, Ilham beruntung bisa kembali dipertemukan dengan teman baik yang bersedia menolongnya.
“Saya bilangnya, saya (pinjam) dulu. Nanti ketika LPDP sudah mencairkan dananya, nanti saya bayar lagi. Nah, mereka kebetulan mau gitu, itulah yang menolong,” kata Ilham.
Beradaptasi di Negeri Orang
Berat rasanya bagi Iwan ketika harus melepas anaknya yang akan merantau ke negeri orang. Namun, Iwan tahu bahwa ini merupakan jalan untuk mencapai cita-cita yang akan menjadi penentu masa depan putranya.
“Aduh, enggak bisa diceritain. Saya juga bingung, sedih mau ditinggal anak sekolah. Tapi ya itu untuk masa depan dia. Yang penting, Aa’ di sana sungguh-sungguh belajar. Itu saja,” ujar Iwan sambil terbata-bata.
Walau sedikit mengalami kendala karena harus menunggu surat jaminan keberangkatan, Ilham akhirnya menginjakkan kaki di Amerika Serikat untuk pertama kalinya pada awal September 2021. Pada waktu itu sebetulnya kuliah sudah berlangsung sejak akhir Agustus. Pada waktu itu ia mendarat di kota New York, yang jaraknya sekitar 4 jam dari Ithaca di mana Cornell University berada.
Bukan arena Times Square atau patung Liberty yang ada dalam pikirannya ketika sampai di New York, tetapi adalah mencari teman yang mau berbaik hati menampungnya pada saat itu.
“Sisanya sih ya seneng. Oh, gini ya Amerika? Saat itu mungkin habis hujan, jadi rada-rada gloomy, mendung. Yah, biasalah orang pojokan bandung tiba-tiba datang ke negara orang,” ceritanya sambil bercanda.
Setelah satu hari tinggal bersama mahasiswa Indonesia di New York, ia pun menuju ke Ithaca. Lagi-lagi ia dipertemukan dengan sosok orang baik, seorang alumni ITB yang mau membuka pintu rumahnya agar Ilham bisa tinggal sementara di sana.
Ilham pun harus langsung mengejar ketinggalannya di dalam kelas dan berusaha menjelaskan mengenai situasinya kepada para dosen. Kuncinya adalah mempersiapkan diri dengan membaca bahan kuliah sebelum kelas dimulai, mempersiapkan pertanyaan, dan mendorong dirinya untuk berpikir kritis.
“Bagaimana kita mau bertanya kalau kita belum tahu apa yang akan dibahas? Nah, itu yang harus dilakukan. Baca dulu materialnya. Selain dibaca, kita komentari juga materialnya, nanti komentar-komentar yang kita keluarkan, pada saat membaca nah kita coba ajukan di dalam kelas gitu,” jelasnya.
Di luar kelas, Ilham pun ditantang untuk beradaptasi dengan budaya Amerika, khususnya dengan makanan pokok selain nasi.
“Saya dikasih kenal misalnya taco gitu. Terus dibiasakan tidak makan nasi setiap hari. Ya memang awalnya agak kaget ya di saya. Apaan ini? Ini mah bukan makanan, ini mah cemilan. tapi lama kelamaan terbiasa,” ujar penggemar opor ayam ini.
Sebagai pendatang dari negara tropis, Ilham pun kini harus bersahabat dengan cuaca yang dingin dan salju. Rasa heran pun melandanya ketika melihat warga lokal yang bercelana pendek, sedangkan ia memakai celana panjang dan baju berlapis. Ia pun belajar beradaptasi ketika menyapa dosen atau teman yang lebih tua dengan hanya memanggil nama.
“Saya butuh dua minggu baru bisa lancar manggil orang langsung pakai nama,” katanya.
Berbatik dan Berkopiah di Kampus
Penampilan Ilham di kampus yang hampir selalu mengenakan batik berhasil menarik perhatian warga lokal. Bagi Ilham batik adalah salah satu caranya untuk mewakili Indonesia di negeri orang.
“Ada yang udah tahu batik duluan, ada yang nanya dulu. Itu lumayan menarik sih dan kalu misalnya ketemu orang indonesia biasanya akan langsung, ‘oh, orang Indonesia ya?’” katanya.
Setiap Jumat, Ilham juga kerap memakai kopiah sebagai persiapan salat Jumat di kampus. Kebetulan kampusnya memiliki ruangan yang dapat dipakai untuk beribadah oleh penganut agama apa pun di kampus.
“Ternyata di sini juga komunitas beragama pun diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadahnya. Terutama ya itu, kongregasi jumat misalnya ya, salat jumat atau salat 5 waktu, itu diberikan kesempatan. Jadi saya senang banget,” kata Ilham.
Aktif di Kampus
Selalu aktif berorganisasi saat masih di ITB dulu, kini Ilham juga aktif di kampus Cornell. Ia terlibat sebagai asisten riset dalam lembaga The Worker Institute (TWI) di Industrial and Labor Relations, Cornell University, serta asisten dalam G20 Energy Transitions Working Group (ETWG).
Di dua lembaga tersebut, Ilham mendalami isu transisi energi serta kaitannya dengan kesejahteraan para pekerja.
“Tujuan saya untuk ikut serta di dua tempat tersebut adalah untuk belajar dan ikut serta dalam proses transisi energi hijau, namun juga perhatian dengan kesejahteraan para pekerja,” jelas Ilham.
“Harapannya apa yang saya pelajari dan hasilkan selama bergabung di dua tempat tersebut dapat berguna saat ini dengan hasil penelitian di TWI dan keputusan di ETWG, serta bisa saya bawa juga jika ke depannya mendapatkan kesempatan di ranah kebijakan publik,” tambahnya.
Viral di Sosial Media
Kisah Ilham sempat beberapa kali viral di media sosial. Salah satunya ketika ia mencuit di Twitter tentang kondisi ekonomi keluarganya, profesi ayahnya sebagai sopir taksi online, serta pendidikan yang selama ini bisa ia dapatkan berkat beasiswa BIDIKMISI dan LPDP, hingga kini tengah menjalani pendidikan S2 di Cornell University.
Menurutnya, “kalau tanpa BIDIKMISI dan LPDP, pendidikan tinggi hanya ada di angan.”
“Saya dari kalangan menengah ke bawah. Saya enggak bisa meng-klaim bahwa saya orang ekonomi bawah banget gitu, karena saya masih bisa mendapatkan akses informasi, masih bisa ya, hidup seperti biasanya. Tapi pas gitu,” ujar Ilham.
Tak lama setelah itu, kisah Ilham dan ayahnya kembali viral di media sosial saat seorang penumpang taksi Iwan mengunggah fotonya yang tengah berada di dalam taksi Iwan, sambil mencuit tentang betapa bangganya Iwan akan sang anak yang sedang kuliah di Cornell University.
Tidak hanya itu, kisah perjuangan Ilham untuk menempuh pendidikan tinggi hingga S2 di Amerika pun ikut diceritakan kembali oleh menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah unggahan di Instagram.
“Sebetulnya, tanggapan saya cukup kaget karena di-notice oleh menteri,” tanggap Ilham.
Sebercak harapan pun muncul dalam benaknya, yaitu semoga apa yang ia alami, yaitu “mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, dapat dialami banyak orang.”
Ilham pun berharap ceritanya ini bisa “memperluas kesempatan bagi masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah untuk mendapatkan pendidikan tinggi.”
Tidak hanya itu, berkaca kepada profesi sang ayah, Ilham juga memiliki harapan khusus, yaitu agar “orang-orang yang bekerja sebagai ‘mitra’ atau tidak terikat perjanjian kerja seperti ayah bisa mendapatkan kondisi pekerjaan yang lebih baik.”
Kepada teman-teman yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi namun memiliki keterbatasan ekonomi, Ilham mendorong untuk mencoba mencari kesempatan dan selalu proaktif dalam mencari informasi. Salah satunya di media sosial.
“Jadi Instagram, Twitter pun suka ada akun yang membagikan informasi beasiswa, meskipun memang enggak lengkap, karena ya mereka hanya menyebutkan beasiswa itu. Berarti itu tugas kita untuk mencari tahu lebih lanjut,” jelasnya.
Sebuah peribahasa dalam bahasa Sunda yang mengatakan, “mun keyeng tangtu pareng,” selalu menempel di kepalanya. Artinya, kalau bersungguh-sungguh pasti apa yang dicita-citakan akan tercapai.
“Kalau bersungguh-sungguh pasti ketemu,” jelas Ilham.
“Sungguh-sungguh cari informasi, kalau enggak ketemu, cari lagi ke tempat yang lain,” tambahnya.
Rencananya setelah menyelesaikan studi S2 di Cornell University, Ilham ingin melanjutkan studi S3. Adalah harapannya untuk bisa kembali memperoleh beasiswa dan bisa kembali masuk universitas Ivy League. (*)
Editor : Syahrir Rasyid