Sementara itu, di dalam tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas mendefinisikan takwa sebagai takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya. Definisi takwa yang lain disampaikan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah yang menegaskan bahwa hakikat takwa adalah takwa hati, bukan takwa anggota badan.
Walaupun pendapat para sahabat dan ulama terkait dengan takwa itu sepertinya berbeda-beda, namun kita harus memandangnya bukan sebagai sebuah pertentangan atau perbedaan pendapat. Kita harus memandangnya sebagai saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, dari sekian banyak terminologi takwa yang ada, seluruhnya mengarah kepada satu konsep yang sama tentang takwa yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan menjaga diri agar terhindar dari api neraka dan murka Allah Ta’ala.
Itulah takwa yang menjadi ukuran kemuliaan seorang muslim. Takwa sejatinya hanya bisa dinilai oleh Allah Ta’ala, karena takwa letaknya di dalam hati. Oleh karenanya, kita tidak perlu menyibukkan diri untuk menilai kemuliaan orang lain, namun hendaknya kita fokus untuk memperbaiki kualitas takwa diri kita sendiri.
Mari kita luruskan kembali cara pandang dan cara menilai kita terhadap kemuliaan diri kita sendiri, agar kita tidak salah melangkah dalam menentukan target dalam kehidupan kita. Jadikanlah takwa sebagai target dan ukuran agar kemuliaan dunia dan akhirat kita dapatkan.
Akhirnya, perhatikanlah hadits qudsi berikut ini: “Hai anak Adam, luangkanlah waktu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku menghindarkan kamu dari kemelaratan.
Kalau tidak, Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan kerja dan Aku tidak menghindarkan kamu dari kemelaratan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). (*)
Jadikanlah takwa sebagai target dan ukuran agar kemuliaan dunia dan akhirat kita dapatkan. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid