HIKMAH JUMAT : Istimewanya Ibadah Qurban
Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang)
SALAH SATU ibadah yang sangat dianjurkan oleh Baginda Rasulullah SAW untuk dilaksanakan dalam mengisi sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah adalah berqurban. Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW yang artinya: “Tidak ada amalan anak Adam pada hari Nahr yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih hewan qurban." (HR. Tirmidzi).
Sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah qurban hukumnya adalah sunnah muakkadah, bahkan ada juga yang berpendapat hukumnya wajib bagi yang mampu. Sebagaimana hadits di atas, berqurban dapat dilaksanakan tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Nahr), namun berqurban boleh juga dilaksanakan pada hari-hari tasyrik yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Perintah berqurban tidak hanya dapat kita temukan dalam hadits Baginda Rasulullah SAW, namun perintah berqurban juga terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an yakni pada surat Al-Kautsar yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak. Maka, laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah! Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS. Al-Kautsar [108]: 1-3).
Istimewanya, ibadah qurban telah diperintahkan sejak zaman Nabi Adam AS sebagaimana kisah Qabil dan Habil yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah [5] ayat 27 yang artinya:
“Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan qurban, kemudian diterima dari salahnya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).” Dia (Qabil) berkata: “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu!” Dia (Habil) berkata: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertaqwa.”
Dalam kisah di atas, Habil berqurban dengan domba terbaik dari hasil peternakannya. Sementara itu, Qabil berqurban dengan buah-buahan atau sayuran terburuk dari hasil pertanian yang dilakukannya.
Allah menerima qurbannya Habil karena dia memberikan qurban yang terbaik dengan landasan taqwa. Sementara itu, Allah menolak qurban dari Qabil karena dia memberikan qurban yang terburuk dan terpaksa dalam melakukannya.

Qurban bukan hanya sekedar menyembelih hewan qurban. Tapi pada saat yang bersamaan hendaknya qurban tersebut dilandasi oleh ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj [22]: 37).
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa diterima atau ditolaknya qurban seseorang terletak pada ketaqwaanya. Seorang hamba yang bertaqwa dapat dipastikan dalam setiap amalan yang dilakukannya mencapai kualitas ikhlas. Pada saat yang bersamaan, tidak mungkin seseorang dapat ikhlas dalam beramal, jika dia tidak bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keistimewaan yang kedua adalah terkait dengan ibadah qurban itu sendiri. Penyebutan ibadah qurban dalam Al-Qur’an bergandengan dengan penyebutan ibadah shalat. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah pada surat Al-Kautsar [108] ayat 2, yakni: “Maka, laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah!”
Selain itu pada surat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku (qurbanku), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162).
Berdasarkan kedua ayat di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan qurban sangatlah utama karena Allah menyebutnya secara bergandengan dengan shalat. Shalat adalah ibadah yang pertama kali dihisab di hari kiamat. Jika shalatnya diterima maka diterima pula ibadah yang lainnya.
Dengan demikian, ibadah qurban adalah ibadah yang mengandung nilai yang sangat tinggi sekaligus memerlukan pengorbanan yang besar. Ibadah qurban juga merupakan upaya seseorang untuk mewujudkan kecintaannya yang sejati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ibadah qurban bukan bertujuan untuk menghambur-hamburkan harta, melainkan bentuk mendahulukan kecintaan seseorang kepada Allah dibandingkan dengan yang lainnya. Qurban dapat dimaknai sebagai perjuangan seseorang untuk menundukkan hawa nafsunya, membuktikan keikhlasannya, serta kesungguhannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selain dimensi spiritual seperti yang telah diuraikan di atas, keistimewaan ibadah qurban juga meliputi dimensi sosial, karena ibadah qurban memiliki dampak sosial yang luar biasa. Melalui ibadah qurban, umat Islam diajarkan untuk berbagi dengan sesama, terutama kepada fakir miskin.
Dengan pembagian daging qurban, dapat menyatukan hati kaum muslimin dan mempererat ukhuwah Islamiyah. Bahkan tidak hanya itu, ibadah qurban mengajarkan kepada kita tentang keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan tanggung jawab sosial. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat peduli terhadap pemerataan dan kepedulian sosial.
Selain itu, secara ekonomi ibadah qurban juga memberikan peluang keuntungan dan keberlanjutan ekonomi masyarakat khususnya para peternak. Dengan adanya ibadah qurban, secara tidak langsung dapat memberdayakan para peternak lokal, meningkatkan perekonomian umat, dan menjaga keberlanjutan ekosistem peternakan.
Ibadah qurban tidak hanya mampu meningkatkan kesalehan spiritual dan individual seseorang, namun juga mampu meningkatkan kesalehan sosial seseorang. Prosesi ibadah qurban tidak hanya sekedar menyembelih hewan, tetapi sejatinya menyembelih ego, hawa nafsu, dan sifat kikir yang ada dalam diri manusia.
Dari paparan di atas, maka dapat kita pahami keistimewaan sekaligus pesan moral dari ibadah qurban. Keistimewaan dan pesan moral tersebut meliputi keikhlasan, ketaatan, pengorbanan, cinta, kepedulian sosial, dan keberlanjutan usaha atau ekonomi masyarakat.
Terakhir, mari kita jadikan momen ibadah qurban sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri, meningkatkan ketaqwaan, dan mempererat ukhuwah Islamiyah. Jadikan ibadah qurban kita bukan sekedar rutinitas, tetapi langkah nyata menuju cinta Allah yang sejati. (*)

Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid