get app
inews
Aa Text
Read Next : HIKMAH JUMAT : We Are The Champions

HIKMAH JUMAT : Risiko Menunda Kebaikan

Jum'at, 25 Juli 2025 | 05:33 WIB
header img
Menolong salah satu bentuk kebaikan. Senang menunda-nunda untuk melakukan kebaikan adalah salah satu kebiasaan buruk. (Foto: Ist)

Penulis: Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang

SALAH SATU kebiasaan buruk dari sebagian besar kita adalah senang menunda-nunda untuk melakukan kebaikan. Mungkin karena sedang posisi wenak alias PW, sibuk rebahan, asyik main kartu, seru main catur, atau gara-gara nonton bola, akhirnya kebaikan pun ditunda pelaksanaannya.

Tak sedikit alasan yang dapat diberikan ketika ditanya mengapa sebuah kebaikan ditunda untuk dilaksanakan. Padahal, saat itu kondisi kita sedang sehat, bahkan waktu pun sempat. Namun, kebaikan itu dilaksanakan di penghujung waktu dengan terburu-buru, atau bahkan tidak dilaksanakan.

Tertipulah kita dengan nikmat sehat dan sempat yang telah Allah berikan. Benarlah apa yang disabdakan oleh Baginda Rasulullah SAW yang artinya: “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari).

Menunda adalah sebuah keputusan yang mengandung banyak risiko. Bisa jadi karena kita menunda untuk melaksanakan amal shalih, gagallah kita untuk mendapatkan rahmat dan kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ada sebuah kisah yang layak untuk kita ambil pelajaran. Kisah ini terjadi di awal masa Baginda Rasulullah SAW berdakwah menyebarkan agama Islam di Mekkah. Adalah Maimun bin Qais Al-A’sya, seorang penyair legendaris dari Yamamah (sekarang Riyadh) yang sangat terkenal pada masa itu.

Kepiawaiannya dalam membuat syair membuat karyanya mendapatkan penghargaan tertinggi dari penduduk Mekkah masa itu. Saking bagusnya syair-syair yang dibuat oleh Maimun bin Qais Al-A’sya, maka karya-karyanya itu pun banyak yang digantung di Ka’bah.

Namun, ketika dia mendengar keindahan Al-Qur’an, luluhlah hati Al-A’sya. Dia merasa bahwa kehebatannya dan kepiawaiannya selama ini dalam membuat syair yang indah, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan keindahan ayat-ayat Al-Qur’an.

Semakin sering dia mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an, maka semakin kuatlah niat Al-A’sya untuk memeluk agama Islam. Tanpa ragu-ragu, dia pun menyampaikan niatnya ini kepada para pembesar kaum musyrik dan kafir di Mekkah.

Keterbukaan Al-A’sya ini, membuat para pemuka kaum musyrik dan kafir Mekkah menjadi resah. Mereka khawatir keputusan Al-A’sya memeluk agama Islam akan diikuti oleh para penggemarnya yang selama ini mengagumi syair-syair karya Al-A’sya.


Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
 

Jika orang sekelas dan secerdas Al-A’sya saja bisa luluh hatinya dan mengakui keagungan ayat-ayat suci Al-Qur’an, bagaimana dengan penggemarnya yang selama ini menjadikan Al-A’sya sebagai panutan atau idolanya. Tentu mereka akan jauh lebih mudah untuk memeluk agama Islam.

Begitulah kekhawatiran para pemuka kaum musyrik dan kafir Mekkah saat itu. Oleh karena itu, mereka pun segera melakukan rapat untuk menyusun siasat dan membujuk agar Al-A’sya tidak jadi atau minimal menunda untuk memeluk agama Islam.

Akhirnya mereka bersepakat untuk memberikan tawaran yang fantastis kepada Al-A’sya, yakni mereka akan memberikan hadiah sebanyak 100 ekor unta terbaik jika Al-A’sya menunda memeluk agama Islam hingga tahun depan.

Mendapatkan tawaran itu, ternyata Al-A’sya tergiur untuk menerimanya. Dia berpikir, tidak ada salahnya menerima tawaran tersebut, toh tahun depan bisa langsung memeluk Islam. Menurut Al-A’sya menunda setahun dengan menerima 100 ekor unta adalah keputusan yang terbaik baginya.

Al-A’sya pun kemudian pulang ke kampung halamannya dengan membawa 100 ekor unta terbaik hadiah dari para pemuka musyrik atau kafir Mekkah. Namun, takdir berkata lain, belum sempat dia menikmati keberuntungan dengan memiliki 100 ekor unta, ajal pun datang menjemputnya.

Maksud hati ingin bersenang-senang dengan memiliki 100 ekor unta selama satu tahun di kampung halaman, kemudian tahun depan mewujudkan niat baiknya untuk memeluk agama Islam, tetapi apalah daya, unta tak sempat dinikmati, bahkan mati pun gagal membawa iman dan Islam.

Berdasarkan kisah Maimun bin Qais Al-A’sya di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa setiap penundaan terhadap amal kebaikan yang sejatinya dapat kita lakukan segera, terdapat risiko besar yang bisa jadi membuat kita kehilangan segala-galanya, dunia dan akhirat kita.

Perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini: “Bersegeralah melakukan amal shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena hanya sedikit dari keuntungan dunia.”


Menyantuni anak yatim piatu janganlah ditunda. Menunda adalah sebuah keputusan yang mengandung banyak risiko. (Foto: Ist)
 

Jika dalam kisah Maimun bin Qais Al-A’sya adalah unta sebagai keuntungan dunia yang menyebabkan dia menunda untuk memeluk agama Islam, maka unta itu kini telah berubah menjadi alasan-alasan yang berbeda yang dimiliki oleh setiap manusia.

Unta itu mungkin kini menjadi jabatan dan kesibukan kita yang membuat kita merasa tidak memiliki kesempatan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bisa jadi juga unta itu telah berubah menjadi hobi dan kesenangan kita yang membuat kita lalai untuk beramal shalih.

Bahkan, unta itu dapat saja berubah menjadi apa pun yang membuat kita terlena dan memiliki alasan untuk menunda memperbaiki diri, menunda untuk berbuat baik, atau menunda untuk membantu sesama.

Untuk itu, mari kita perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran [3]: 133).

Untuk itu, mari kita luangkan waktu untuk beribadah kepada Allah. Mumpung badan kita sehat, giatkanlah amal shalih kita. Jangan biarkan diri kita tertipu oleh kedua nikmat yang melalaikan kita itu, yakni nikmat sehat dan nikmat sempat.

Ajal pasti akan tiba menjemput kita dengan tepat waktu. Tak akan bisa ditunda atau dipercepat kedatangannya. Namun sayangnya, kita tidak pernah tahu kapan jadwal kedatangan ajal kita, maka jangan tunda untuk melakukan kebaikan, karena risikonya begitu besar bagi kita.

Ajal adalah rahasia Allah namun pasti terjadi. Ingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Maka apabila ajal itu tiba, mereka tidak akan dapat meminta penangguhan dan tidak pula mempercepat barang sesaat pun.” (QS. Al-A’raaf [7]: 34).

Yuk, mumpung masih ada waktu, mumpung masih sehat, mumpung masih muda, mumpung masih kuat, mumpung masih kaya, dan mumpung masih hidup, bersegeralah melakukan kebaikan. Berhentikan menunda melakukan kebaikan. Apa pun kebaikan yang dapat kita lakukan, lakukanlah. (*)


Ambil keputusan yang tepat jangan ragu apalagi menunda sebuah amal baik. Penundaan terhadap amal kebaikan yang sejatinya terdapat risiko besar yang bisa jadi membuat kehilangan segala-galanya. (Foto: Ist)

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Editor : Syahrir Rasyid

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut