HIKMAH JUMAT : Ketika Keserakahan Mengalahkan Hati Nurani
Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
HAMPIR DUA pekan ini, perhatian sebagian besar dari kita mungkin lebih banyak difokuskan kepada berita terkait aktivitas demonstrasi. Sayangnya, demonstrasi tersebut diwarnai dengan kekerasan dan penjarahan hingga terdapat korban jiwa.
Tak sedikit bangunan, perkantoran, gedung, kendaraan, dan fasilitas umum lainnya yang menjadi sasaran amuk massa. Tentu hal ini sangat disayangkan, karena tindakan anarkis ini telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa serta kerugian materi yang justru merugikan banyak pihak.
Kalau kita telisik, kekisruhan yang terjadi saat ini sesungguhnya disebabkan oleh adanya akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang dipandang tidak tepat dan merugikan rakyat. Ditambah lagi adanya perilaku hedonis dari sebagian pejabat kita.
Kekecewaan tersebut sebenarnya wajar jika ditumpahkan melalui cara demonstrasi karena itu adalah hak dari warga negara. Sayangnya, demonstrasi yang damai itu disinyalir ditunggangi oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan agar negeri kita ini chaos.
Tanpa bermaksud membela dan mendiskreditkan siapa pun, perilaku hedonis dari sebagian pejabat dan juga penjarahan dari sebagian para demonstran merupakan bentuk keserakahan. Keserakahan adalah sifat yang muncul dari dorongan nafsu untuk memiliki lebih, tanpa batas dan tanpa peduli pada hak orang lain.
Dalam Islam, keserakahan bukan hanya dianggap sebagai penyakit hati, tetapi juga sebagai sumber kerusakan sosial dan spiritual. Sifat ini dapat merusak hubungan antar manusia, menimbulkan ketidakadilan, dan menjauhkan seseorang dari rahmat Allah.
Keserakahan adalah keinginan berlebihan terhadap dunia, harta, jabatan, atau kekuasaan. Berbeda dengan semangat bekerja atau berusaha, keserakahan tidak mengenal cukup. Ia mendorong seseorang untuk terus menumpuk, bahkan jika harus, dia rela mengorbankan nilai-nilai moral dan agama.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut keserakahan sebagai salah satu penyakit hati yang paling berbahaya, karena ia melahirkan sifat-sifat buruk lainnya seperti kikir, iri, dan zalim. Kebiasaan flexing para pejabat yang tidak memiliki sensitivitas terhadap penderitaan rakyat, adalah salah satu bentuk kekinian dari sifat buruk serakah.
Oleh karenanya, tidak heran jika buah dari keserakahan adalah terjadinya kerusakan sosial dimana para pejabat banyak mengeksploitasi rakyat, alih-alih menjadi khadimul ummah yang ada justru dia yang selalu ingin dilayani, dihormati, dan dimuliakan.

Akibat dari keserakahan juga menimbulkan perilaku menyimpang lainnya dari para pengusaha sekaligus pejabat atau pejabat sekaligus pengusaha yang dikenal dengan istilah peng-peng. Mereka mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya tanpa memikirkan keberlanjutan bagi generasi mendatang dan kelestarian alam.
Belum lagi korupsi yang semakin merajalela di mana-mana. Pelaku korupsi bukanlah orang miskin yang kekurangan makanan, bukan pula orang pinggiran yang tidak memakan bangku sekolahan. Pelaku korupsi justru mereka adalah peng-peng yang merupakan orang kaya dan berpendidikan tetapi tidak terdidik. Pendidikannya boleh tinggi, tapi sayang akhlak dan moralnya jongkok.
Dalam ajaran agama Islam, keserakahan adalah penghalang utama menuju surga. Ia membuat seseorang lalai dari ibadah, enggan bersedekah, dan terikat pada dunia. Mari kita perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya." (QS. Al-Humazah [104]: 1-3). Ayat ini menggambarkan betapa keserakahan terhadap harta dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kehancuran.
Pada surat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegur manusia yang sibuk berlomba-lomba dalam memperbanyak harta, hingga lupa akan kematian. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur." (QS. At-Takatsur [102]: 1-2).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan perilaku manusia yang serakah sebagai manusia yang tidak peduli terhadap orang lain, hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli lagi terhadap halal dan haram, serta mencintai harta secara berlebihan. Gambaran ini, terdapat pada surat Al-Fajr [89] ayat ke 15-20 yang artinya:
"Dan apabila Tuhan mengujinya dengan mempersempit rezekinya, maka dia berkata: 'Tuhanku menghinakanku.' Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampuradukkan (yang halal dan haram), dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan."
Sementara itu, orang yang serakah digambarkan oleh Baginda Rasulullah SAW melalui sabdanya yang artinya: "Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya ia akan menginginkan yang ketiga. Tidak ada yang dapat memenuhi perut anak Adam kecuali tanah (kematian). Dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat." (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits di atas, Baginda Rasulullah SAW menegaskan bahwa keserakahan manusia tidak akan pernah berhenti, kecuali setelah dia meninggal. Keserakahan itu sangat berbahaya, ia bisa merusak integritas dan keimanan seseorang.
Perhatikan sabda Baginda Rasulullah SAW yang artinya: "Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan ke dalam kumpulan kambing lebih merusak daripada keserakahan seseorang terhadap harta dan kedudukan terhadap agamanya." (HR. At-Tirmidzi).
Begitulah jika keserakahan telah mengalahkan hati nurani seorang manusia. Dia bisa lebih buas daripada dua ekor serigala yang lapar. Sungguh sangat mengerikan, karena manusia yang serakah tidak akan pernah puas hingga ajal datang untuk mengakhiri semuanya.
Kita harus ingat, bahwa keserakahan bukanlah tanda keberhasilan. Keserakahan merupakan gejala kegagalan spiritual seseorang. Orang yang serakah tidak pernah puas, selalu gelisah, dan jauh dari ketenangan.
Tidak perlu flexing untuk mendapatkan apresiasi dan rekognisi dari orang lain. Harta bukan untuk dipamerkan dan ditumpuk-tumpuk, tetapi harta itu untuk dimanfaatkan dan dibagikan. Karena sejatinya, ukuran kekayaan seseorang itu bukanlah dari banyaknya harta yang dimilikinya.
Mari kita renungkan sabda Baginda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim berikut ini: "Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa." Semoga kita dijauhkan dari sifat serakah dan diberi hati yang lapang, penuh syukur, dan cinta kepada kebaikan.
Kita do’akan semoga saja dengan adanya demonstrasi yang diwarnai dengan tindakan anarkis serta jatuhnya korban jiwa beberapa hari yang lalu, para pejabat, pemimpin dan pengusaha negeri kita ini segera sadar dan dapat mengambil pelajaran.
Demikian pula untuk seluruh rakyatnya, semoga semakin cerdas dalam memilih pemimpin dan wakilnya di parlemen. Jadilah rakyat yang tidak mau ditunggangi oleh siapa pun, jadilah rakyat yang merdeka dan tidak terjebak oleh pragmatisme serta kepentingan politik sesaat siapa pun. (*)

Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid