HIKMAH JUMAT : Tawadhu dan Qana’ah: Dua Akhlaq yang Membawa Kedamaian Hidup
Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang.
DALAM hiruk pikuk kehidupan modern, manusia sering kali terjebak dalam perlombaan tanpa akhir: mengejar jabatan, harta, pengakuan, dan popularitas. Banyak yang merasa tidak pernah cukup, meski telah memiliki banyak hal.
Di sisi lain, muncul pula sikap sombong, merasa diri lebih unggul dari orang lain hanya karena status atau kekayaan. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan batin dan kemuliaan akhlaq melalui dua sikap agung: tawadhu (rendah hati) dan qana’ah (merasa cukup).
Makna dan Hakikat Tawadhu
Secara bahasa, tawadhu’ berarti merendahkan diri. Namun dalam Islam, tawadhu bukan berarti menempatkan diri secara hina, melainkan kesadaran bahwa segala kelebihan yang dimiliki adalah anugerah Allah, bukan hasil kekuatan pribadi semata.
Orang yang tawadhu tidak sombong terhadap kelebihannya dan tidak meremehkan orang lain. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang menyombongkan diri atas yang lain dan tidak ada yang menzalimi yang lain.” (HR. Muslim)
Tawadhu juga merupakan tanda kematangan iman dan kebesaran hati. Orang yang benar-benar beriman tidak mencari pujian dari manusia, sebab ia tahu bahwa kemuliaan sejati hanya milik Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan: ‘Salam.’” (QS. Al-Furqan [25]: 63)
Ayat ini menggambarkan bahwa tawadhu adalah karakter hamba pilihan Allah, yakni mereka yang tidak mudah terpancing emosinya, tidak sombong dalam langkahnya, dan penuh kelembutan dalam tutur katanya.
Di antara tanda-tanda orang yang tawadhu pertama adalah tidak membanggakan diri atau sombong di hadapan orang lain. Ia sadar bahwa ilmu, harta, dan kedudukan adalah titipan Allah. Perhatikan sabda Baginda Rasulullah SAW: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau seberat biji sawi.” (HR. Muslim)
Tanda yang kedua adalah senang mendahulukan kepentingan orang lain dan menghormati sesama. Orang yang tawadhu akan senang menolong tanpa pamrih dan tidak merasa dirugikan saat memberi.
Tanda yang berikutnya adalah menerima kebenaran, walau datang dari orang biasa.
Umar bin Khattab RA pernah berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan kesalahanku.” Itulah wujud kerendahan hati sejati.
Yang terakhir adalah tidak menuntut kehormatan berlebihan. Baginda Rasulullah SAW sering makan bersama sahabatnya, menambal sandalnya sendiri, dan tidak menolak undangan dari siapapun. Ini bukti nyata tawadhu yang meleburkan jarak sosial.

Makna dan Hakikat Qana’ah
Setelah tawadhu, akhlaq agung lainnya yang dapat membawa kedamaian hidup adalah qana’ah, yaitu merasa cukup atas rezeki yang telah diberikan Allah. Qana’ah bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menerima hasil usaha dengan lapang dada sambil terus bersyukur.
Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qana’ah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Orang yang qana’ah tidak iri terhadap rezeki orang lain, karena ia yakin bahwa pembagian rezeki telah ditentukan Allah secara adil. Ia berusaha sekuat tenaga, tetapi hatinya tidak digantungkan pada hasil, melainkan pada ridha Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Thalaq [65]: 2–3)
Ayat ini menegaskan bahwa kecukupan sejati datang bukan dari banyaknya harta, tetapi dari keyakinan bahwa Allah yang mencukupkan. Ketenangan jiwa bukan dari jumlah yang banyak, tetapi dari rasa qanaah yang menghujam di dalam hati.
Seseorang yang memiliki sifat qana’ah akan memancarkan ketenangan dalam hidupnya. Di antara tanda-tanda orang yang qana’ah yang pertama adalah tidak berlebihan dalam keinginan dunia.
Ia tidak memaksakan diri untuk mengejar hal yang melampaui kemampuannya.
Orang yang qanaah paham bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara, sehingga banyak atau sedikitnya harta bukanlah ukuran yang sejati. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tanda qanaah yang kedua dalah selalu bersyukur dan tidak mengeluh. Dalam setiap keadaan, ia melihat sisi positif dan nikmat Allah yang masih banyak. Pikirannya dipenuhi oleh sikap husnudzon kepada siapa pun, terlebih lagi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang ketiga adalah tidak iri terhadap rezeki orang lain. Sebab ia tahu, setiap orang memiliki takdir dan ujian masing-masing, dan yang terakhir adalah hidup sederhana dan fokus pada kebahagiaan batin, sehingga tidak stres dan cemas dengan kehidupan.

Keterkaitan Antara Tawadhu dan Qana’ah
Tawadhu dan qana’ah adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya melahirkan kedamaian jiwa dan keharmonisan sosial. Orang yang tawadhu akan mudah qana’ah, sebab ia tidak menganggap dirinya lebih tinggi dan tidak merasa berhak atas segala sesuatu.
Sebaliknya, orang yang qana’ah akan mudah tawadhu, karena hatinya tidak dikuasai oleh keserakahan atau keinginan untuk dipuji. Jika kesombongan dan ketamakan adalah sumber keresahan, maka tawadhu dan qana’ah adalah obatnya.
Keduanya menjadikan manusia lebih dekat kepada Allah dan lebih lembut terhadap sesama.
Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Berendahhatilah kamu sekalian, karena sesungguhnya tawadhu termasuk sebagian dari iman; dan tidaklah seseorang bertawadhu karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Ahmad)
Dalam konteks kehidupan modern, banyak orang dewasa yang tertekan oleh tuntutan sosial dan ekonomi. Media sosial memperkuat rasa kompetitif: siapa yang lebih sukses, siapa yang lebih kaya, siapa yang lebih bahagia.
Di sinilah nilai tawadhu dan qana’ah menjadi penyelamat mental dan spiritual. Sikap ini mengajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah tentang siapa yang memiliki lebih banyak, tetapi siapa yang paling bersyukur dan paling rendah hati.
Seorang Muslim yang tawadhu akan menghormati siapapun tanpa memandang status, sementara yang qana’ah akan tetap tenang meski dunia tidak selalu berpihak. Inilah rahasia kedamaian yang diajarkan Islam yakni keseimbangan antara usaha duniawi dan ketenangan ukhrawi.
Tawadhu dan qana’ah adalah dua akhlaq yang saling melengkapi dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia modern. Tawadhu menjauhkan kita dari kesombongan, sedangkan qana’ah menjauhkan kita dari ketamakan.
Keduanya membentuk pribadi yang tenang, bersyukur, dan penuh kasih terhadap sesama. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh beruntung orang yang hatinya dijadikan Allah tunduk kepada-Nya, lidahnya dijadikan jujur, dan jiwanya dijadikan qana’ah terhadap rezekinya.” (HR. At-Tirmidzi). (*)

Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid