get app
inews
Aa Text
Read Next : HIKMAH JUMAT : We Are The Champions

HIKMAH JUMAT : Renungan dari Musibah di Sumatera

Jum'at, 05 Desember 2025 | 04:50 WIB
header img
Bencana bisa jadi karena manusia melakukan kerusakan lingkungan, pelanggaran amanah terhadap alam, ketidakadilan, dan perbuatan maksiat. (Foto: Ist)

Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang

AKHIR NOVEMBER 2025 yang lalu, musibah besar kembali melanda Pulau Sumatera. Bencana banjir dan tanah longsor yang memicu banjir bandang melanda setidaknya di tiga provinsi yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Peristiwa yang secara saintifik dipicu oleh adanya hujan ekstrem akibat siklon Senyar, membuat bangsa Indonesia kembali berduka. Bencana ini seolah-olah mengingatkan kembali akan bencana tsunami dua puluh satu tahun lalu, namun dalam bentuk yang berbeda.

Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga hari Selasa, 4 Desember 2025 sudah tercatat korban meninggal dunia hingga 807 jiwa. Sementara itu, jumlah korban hilang sebanyak 647 jiwa, terluka 2.600 jiwa, korban terdampak 3,3 juta jiwa dan korban mengungsi sebanyak 643,9 ribu jiwa.

Sungguh jumlah korban yang tidak sedikit, belum lagi jika dihitung dari sisi materi dan biaya untuk penanggulangannya, serta dampak sosialnya. Duhai Allah, ampuni kami yang telah menzalimi diri kami hingga bencana ini datang menegur kami.

Angka-angka tersebut masih sangat mungkin bertambah mengingat proses pencarian dan evakuasi masih terus berlangsung. Kita do’akan semoga para petugas dan relawan di lapangan diberikan kekuatan, kemudahan, kelancaran, dan kesabaran dalam menjalankan tugas mulianya.

Bencana alam, apa pun itu bentuknya, dalam pandangan Islam adalah sebuah musibah yang tidak hanya sekadar tragedi duniawi saja, melainkan juga sebuah panggilan spiritual.

Musibah bisa menjadi tanda-tanda kebesaran Allah, sekaligus pengingat bahwa manusia adalah makhluk lemah, bahwa alam ini diciptakan dan dikuasai oleh Allah, dan bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan ketetapan-Nya.

Dalam Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.” (Al-Hadid [57]: 22)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa bencana bukan semata kebetulan, melainkan bagian dari ketetapan Allah yang telah tertulis. Ini menunjukkan bahwa Allah Maha Mengatur, apa pun yang terjadi di alam raya adalah bagian dari rencana-Nya.


Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
 

Lebih lanjut, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura [42]: 30)

Ayat ini mengajak manusia untuk melihat kemungkinan bahwa bencana bisa terjadi sebagai akibat ulah manusia sendiri. Bencana bisa jadi karena manusia melakukan kerusakan lingkungan, pelanggaran amanah terhadap alam, ketidakadilan, dan perbuatan maksiat. Ini jadi panggilan untuk introspeksi dan tobat.

Dalam kondisi seperti ini, bencana menjadi peringatan agar manusia sadar atas tanggung jawabnya terhadap alam, terhadap sesama, dan terhadap dirinya sendiri. Alam bukan hanya panggung hidup, tapi amanah dari Allah.

Ketika kita lalai menjaga amanah itu, baik lingkungan, keadilan, atau moralitas, maka bencana bisa menjadi salah satu cara Allah mengingatkan kita. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada Surat Ar-Rum [30] ayat ke-41 yang artinya:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Musibah mengingatkan bahwa dunia ini fana, amanah, dan manusia harus menjalankan tanggung jawabnya dengan bijak. Bencana di Sumatera, meskipun tragis, bisa dipahami sebagai panggilan untuk kembali kepada Allah, memperbaiki diri, dan memperbaiki hubungan manusia dengan alam serta sesama.

Sekali lagi, dalam Islam musibah tidak selalu bermakna negatif secara absolut, ia bisa menjadi ujian, sarana pembersihan diri, maupun sarana peningkatan keimanan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya:

“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan: ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.’” (Al-Baqarah [2]: 155)

Dengan demikian, ketika bencana menimpa seperti di Sumatera, bagi seorang mukmin hal itu bisa menjadi bentuk tarbiyah (pendidikan rohani) dari Allah untuk mengasah sabar, menguatkan iman, dan membersihkan dosa.

Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin: jika mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya; dan jika tertimpa kesusahan (musibah), ia bersabar, maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)


Dalam Islam musibah tidak selalu bermakna negatif secara absolut, bisa menjadi ujian, sarana pembersihan diri, maupun sarana peningkatan keimanan. (Foto: Ist)
 

Dengan sikap sabar dan tawakal, musibah bukan akhir dari hidup, melainkan kesempatan untuk kembali memperbaiki diri, memperbanyak ibadah, memperkuat ukhuwah, dan menumbuhkan kepedulian sosial.

Selain itu, musibah juga bisa menjadi peringatan kolektif agar manusia sadar bahwa alam butuh dijaga, bahwa keadilan sosial harus ditegakkan, bahwa kerusakan lingkungan akibat ulah manusia bisa memunculkan balasan.

Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, terdapat satu hal lagi yang sangat penting untuk segera dilakukan yaitu membangun solidaritas dan kepedulian sosial. Bencana adalah ujian kolektif, mari bangun empati, bantu korban, dan saling mendukung.

Islam mengajarkan untuk tolong-menolong di kala senang maupun susah. Persaudaraan umat Islam, khususnya kaum mukminin, adalah laksana satu tubuh. Simak sabda Baginda Rasulullah SAW yang artinya:

“Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Terakhir, mari kita renungkan bahwa bencana yang terjadi di Sumatera atau di mana pun bisa menjadi salah satu bentuk panggilan dari Allah untuk kita, agar kita ingat, kembali, dan memperbaiki diri.

Ujian bukan semata penderitaan bagi orang yang beriman. Hal itu bisa menjadi tanda akan kebesaran Allah, pintu tobat, jalan pembersihan dosa, dan sarana untuk memperkuat iman serta solidaritas kita.

Kita do’akan semoga saudara-saudara kita yang menjadi korban bencana di Sumatera diberikan kekuatan dan kesabaran. Semoga kita juga diberi kemampuan untuk mengambil hikmah dari tiap musibah, dan senantiasa berada dalam lindungan, ampunan, dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin. (*)


Dengan sikap sabar dan tawakal, musibah bukan akhir dari hidup, melainkan kesempatan untuk kembali memperbaiki diri, memperbanyak ibadah. (Foto: Ist)

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Editor : Syahrir Rasyid

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut