HIKMAH JUMAT : Ketika Alam Menegur Kita
Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
BENCANA ALAM selalu menjadi peristiwa yang mengguncang kehidupan manusia. Gempa bumi, banjir, tanah longsor, maupun letusan gunung berapi yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk bencana di Sumatera meninggalkan duka mendalam bagi kita semua.
Namun dalam perspektif Islam, setiap musibah bukanlah peristiwa tanpa makna. Ia adalah ayat, tanda kebesaran Allah, sekaligus sarana muhasabah bagi manusia. Sejatinya, setiap peristiwa dalam kehidupan adalah bentuk komunikasi Allah kepada hamba-Nya.
Bencana apa pun itu, bukan sekadar malapetaka, tetapi seruan untuk kembali menata hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan alam ciptaan-Nya. Tidak ada peristiwa di muka bumi yang terjadi tanpa izin dan kehendak Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami mewujudkannya.” (QS. Al-Hadid [57]: 22)
Ayat ini menegaskan bahwa musibah bukanlah kejadian acak, tetapi bagian dari ketetapan Allah yang memiliki tujuan. Ketika Sumatera diguncang bencana, seluruh umat Islam diajak melihatnya dengan pandangan iman: sebagai ujian, peringatan, atau cara Allah membersihkan dosa-dosa manusia.
Selain itu, bencana dalam Al-Qur’an juga sering dihubungkan dengan fenomena ayat kauniyah, yakni tanda-tanda kekuasaan Allah melalui alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda (bencana atau mukjizat) melainkan untuk menakutkan (agar manusia kembali kepada Allah).” (QS. Al-Isra’ [17]: 59)
Ayat ini tidak berarti Allah menakut-nakuti hamba-Nya secara zalim, tetapi memberikan peringatan agar manusia menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak terbuai oleh kehidupan dunia.
Sementara itu, banyak ulama yang menyebut bahwa musibah adalah ujian dan sarana untuk meningkatkan derajat iman seseorang. Baginda Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha, maka baginya keridhaan; dan siapa yang murka, maka baginya kemurkaan.” (HR. Tirmidzi)

Bagi masyarakat di Sumatera yang ditimpa bencana, hadis ini menyampaikan pesan ketabahan. Musibah bukan tanda bahwa Allah membenci hamba-Nya, tetapi justru bukti bahwa Allah ingin mengangkat derajat mereka.
Kesabaran di tengah kesulitan menjadi pintu besar menuju pahala tanpa batas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan diberi pahala tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10)
Bencana seringkali memunculkan solidaritas sosial yang luar biasa, mempererat ukhuwah, dan membuat manusia menjadi lebih peka terhadap penderitaan sesama. Di balik kerasnya ujian, selalu ada hikmah yang menguatkan.
Islam menegaskan bahwa manusia adalah khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam. Namun ketika manusia lalai, kerusakan muncul di mana-mana. Al-Qur’an mengingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rum [30]: 41)
Ayat ini relevan dengan persoalan lingkungan yang kini menjadi isu serius. Deforestasi, penambangan berlebih, dan alih fungsi lahan telah berkontribusi pada meningkatnya risiko banjir, longsor, dan juga kabut asap.
Ketika alam rusak, ia “menegur” manusia melalui bencana. Islam mengajarkan keseimbangan yakni memanfaatkan alam tanpa merusaknya, mengelola sumber daya tanpa melampaui batas. Mengabaikan kelestarian alam berarti mengabaikan amanah besar dari Allah.
Teguran alam harus dibaca sebagai ajakan untuk kembali kepada prinsip ihsan dalam mengelola bumi, seperti pesan Baginda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan pada segala sesuatu.” (HR. Muslim)
Musibah seringkali membuka pintu perenungan yang jarang dilakukan manusia ketika dalam keadaan lapang. Di saat-saat penuh ketidakpastian, banyak orang kembali mendekat kepada Allah. Inilah salah satu hikmah terbesar dari bencana, yaitu menumbuhkan kesadaran spiritual.
Beberapa renungan penting yang perlu dilakukan adalah kesadaran akan keterbatasan manusia. Meskipun manusia membangun teknologi hebat, ia tetap tidak mampu menghentikan pergerakan lempeng bumi atau mengendalikan letupan gunung berapi. Keterbatasan ini mengingatkan bahwa manusia hanyalah makhluk lemah di hadapan kekuasaan Allah.
Selanjutnya adalah ajakan memperbaiki amal. Musibah adalah alarm spiritual. Ketika alam “menegur”, bisa jadi Allah menginginkan manusia memperbaiki akhlak, meninggalkan maksiat, meningkatkan takwa, dan memperkuat hubungan dengan-Nya.

Selain itu adalah menguatkan solidaritas dan kepedulian. Bencana membuat manusia melebur dalam satu rasa, yaitu saling membantu dan menguatkan. Islam sangat menekankan nilai ini, sebagaimana hadis:
“Perumpamaan kaum mukminin dalam kasih sayang dan sikap saling peduli bagaikan satu tubuh; jika salah satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lantas, bagaimana sikap seorang mukmin agar musibah membawa hikmah?
Islam mengajarkan beberapa sikap, di antaranya sabar dan tawakkal. Hal ini ditegaskan melalui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Anfal [8], ayat ke-46 yang artinya: “Dan bersabarlah; sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Sabar bukan pasrah tanpa usaha, tetapi menerima ketentuan Allah sambil tetap mencari solusi terbaik.
Selanjutnya adalah memperbanyak berdoa dan istighfar. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memperbanyak istighfar, Allah akan memberikan jalan keluar bagi setiap kesulitannya.” (HR. Ahmad)
Yang tidak kalah pentingnya adalah membantu korban bencana sebagai bentuk ibadah. Menolong sesama yang tertimpa musibah termasuk perbuatan mulia yang sangat dicintai Allah.
Yang terakhir adalah mengambil hikmah dan memperbaiki diri. Bencana harus menjadi titik balik untuk memperbaiki hubungan dengan Allah, sesama manusia, dan alam sekitar.
Sekali lagi, bencana yang melanda Sumatera bukan sekadar peristiwa alam semata, tetapi teguran yang mengandung banyak makna. Al-Qur’an mengajarkan bahwa setiap musibah adalah ujian, peringatan, dan tanda kebesaran Allah.
Di balik duka, terdapat hikmah yang dapat menguatkan iman, memperbaiki perilaku, serta mengembalikan manusia kepada jalan yang benar.
Oleh karenanya ketika alam menegur, sudah seharusnya manusia berhenti sejenak, merenung, memperbaiki diri, dan mengingat kembali amanahnya sebagai khalifah di muka bumi.
Dengan demikian, musibah tidak hanya meninggalkan luka, tetapi juga melahirkan kebangkitan spiritual dan kesadaran ekologis yang lebih kuat dalam masyarakat. Dengan itu, semoga kita senantiasa dijauhkan dari mala petaka dan bala bencana. (*)

Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid