Uniknya, mesin-mesin sangrai di pabrik Kopi Aroma dioperasikan dengan kayu bakar dari pohon karet. Asap dari pembakaran kayu pohon karet ini memberi aroma khas tersendiri terhadap kopi yang dihasilkan.
Almarhum BJ Habibie, kata Widya, sangat mengagumi mesin sangrai kopi buatan Jerman yang digunakan sejak awal pabrik ini berdiri. Umur mesin itu diketahui sudah lebih dari 90 tahun. Semasa hidup, Presiden ke-3 RI ini sering berkunjung ke Pabrik Kopi Aroma. Mesinnya memang sudah tua dan gerakannya pelan. Tapi masih kuat. "Itu yang bikin Pak Habibie kagum," kata pria 75 tahun itu.
Setelah pengeraman dan pemanggangan, proses penggilingan biji kopi pun masih menggunakan mesin lama, dan lagi-lagi produksi Jerman. Kopi Aroma menyediakan kopi giling halus (fine grind) untuk diseduh langsung, kopi giling medium, kopi giling kasar maupun biji matang.
Lantaran laris manis, pihak Kopi Aroma membatasi jumlah pembelian. Setiap pembeli hanya boleh maksimal membeli total 3 kilogram kopi setiap datang. Di samping agar pembeli lain kebagian, pembelian kopi dalam jumlah banyak bisa membuat masa penyimpanan di tingkat konsumen jadi lebih lama sehingga mutu kopi dikhawatirkan menurun.
"Kami menyeimbangkan semua aspek. Tujuh M: Man, Machine, Material, Method, Money, Market dan Minute. Kalau tak seimbang, misalnya market diperbesar tapi mutu dikurangi, tentu tidak baik untuk kelangsungan usaha,” jelas Widya.
Kiat lainnya adalah menjaga rantai pasokan, mulai bahan baku hingga barang jadi. “Supaya usaha kita langgeng, penuh berkah,” katanya.
Nyaris Gulung Tikar
Widyapratama mengungkapkan, saat didirikan oleh ayahnya, Tan Houw Sian pada 1930, usaha ini dinamakan Koffie Fabriek Aroma Bandoeng. Widya merupakan anak tunggal Tan Houw Sian.
Meski sempat jatuh bangun, Koffie Fabriek Aroma Bandoeng tetap eksis karena terus menjaga mutu, hingga akhirnya produksi Tan Houw Sian ini digemari berbagai kalangan. Namun, selama satu dekade, pada 1960 hingga 1970, bisnis kopi Tan Houw Sian tersendat.
Ayah Widya semakin tua dan di sisi lain belum ada yang bisa diandalkan untuk membantu usaha. “Sudah berantakan tapi tidak sampai tutup. Masih cukup untuk makan keluarga. Tapi benar-benar goyah,” cerita Widya.
Pada 1971, Widya –sang anak tunggal- yang baru menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran (Unpad), akhirnya melanjutkan usaha mendiang ayahnya. Dia membenahi semua lini usaha yang terbengkalai hingga kembali maju.
"Sekarang kondisinya sudah sangat stabil. Mudah-mudahan bisa maju terus dan berkah," ujar dia.
(*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait