JAKARTA, iNewsSerpong.id - Praktik monopoli dan kartel dikenal adalah praktik ekonomi yang sangat merugikan pihak lain.
Monopoli atau kartel mengikat hubungankerjasama atau kolusi antara beberapa kelompok produsen atau perusahaan mulai dari produksi barang, memasarkan yang bertujuan menetapkan harga. Hal ini tentu bertujuan membatasi penawaran dan persaingan.
Praktik ekonomi yang jahat ini sangat dilarang Nabi Muhammad SAW dalam berbisnis.
Larangan ini pun jelas dan sahih disebutkan dalam hadis berikut ini:
Pertama, hadis yang melarang mencegat para kafilah dan melarang orang kota menjualkan untuk orang desa (talaq rukban).
“Janganlah kamu sekalian mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kota menjual buat orang desa”.
Lalu, Nabi pun bertanya kepada Ibnu Abbas, “Tahukah, apa maksud kata-kata tadi?”, yakni “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan jangan pula mencegat orang yang menjadi perantara baginya” (HR Bukhari).
Kedua, hadis yang menyatakan: “Barang siapa yang melakukan penimbunan untuk mendapatkan harga yang paling tinggi, dengan tujuan mengecoh orang Islam, maka termasuk perbuatan salah” (HR Ahmad).
Kedua hadis di atas menggunakan redaksi man ihtakara yang berarti ‘barang siapa’, yang dapat menunjukkan banyak orang atau setiap orang. Dalam hal ini, redaksi ihtakara itu bersifat umum, yakni dapat tertuju pada satu orang yang biasa disebut dengan monopoli, atau bisa juga dilakukan oleh banyak orang atau biasa disebut oligopoli.
Selanjutnya, redaksi untuk mendapatkan harga yang paling tinggi pada hadis di atas secara tidak langsung berarti ingin mengecoh orang Islam (konsumen), atau bahasa simpelnya, berarti terjadi tindakan yang bertujuan merugikan orang banyak.
Hadis di atas dapat dipahami bahwa pengusaha yang terdiri atas satu atau beberapa orang untuk merugikan konsumen sehingga harga barang dinaikkan dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan yang besar, maka hukumnya termasuk dosa besar.
Dari hadis di atas tampak bahwa unsur-unsur kartel dalam versi hukum persaingan usaha Islam telah terpenuhi. Para ulama memberi penafsiran yang bervariasi terhadap barang yang dijadikan objek monopoli. Syafi’iyah dan Hanabilah, misalnya, berpendapat bahwa barang yang ditimbun adalah kebutuhan primer.
Lebih luas dari pendapat keduanya, Abu Yusuf berpendapat bahwa barang yang dilarang adalah semua barang yang dapat menyebabkan kemudaratan (kesulitan) bagi orang lain. Pendapat terakhir ini disepakati Hanabilah, termasuk sebagian ulama Malikiyah dan Ibnu Abidin Syaukani. Demikian dilansir dari Buku Bisnis Ala Nabi karya Mustafa Kamal Rokan, Jakarta, Senin (28/11/2022).
Lalu, bagaimana hukum Islam melihat hal ini? Hadis yang melarang praktik monopoli di atas hadir dengan maksud agar para pengusaha tidak berbuat monopoli dalam menentukan harga produk secara semena-mena, baik yang dilakukan secara monopoli maupun oligopoli sehingga dapat merugikan konsumen.
Yang terpenting dilihat di sini bukan soal terbuktitidaknya terjadi perjanjian, melainkan pada pembuktian bahwa telah terjadinya monopoli barang yang sangat dibutuhkan masyarakat. Dengan penguasaan barang tersebut pelaku usaha dapat menaikkan harga yang tidak wajar sehingga mengakibatkan kerugian bagi banyak orang.
Untuk melakukan analisis ekonomi terhadap hukum monopoli ini, hukum Islam menggunakan teori maslahah sebagai pisau analisisnya. Teori ini berarti bertujuan melihat tingkat kemaslahatan dan kemudaratan efek kasus yang terjadi.
Dan, realitanya membuktikan bahwa terjadi kemafsadatan riil bagi masyarakat secara umum. Maka, berlakulah kaidah yang menyatakan darul mafasid muqoddamun ‘ala al- jalbi al-mashalih (menghindari kerusakan itu lebih utama daripada mengambil kemaslahatan).
Ternyata, larangan Rasulullah SAW terhadap perilaku kartel dalam perdagangan pada saat itu masih sangat relevan untuk dikontekskan saat ini.
Selalu terjadi praktik kartel di dunia perdagangan yang menjadi ciri masyarakat Kota Makkah dan sekitarnya. Oleh karena itu, aturan kartel telah dibuat Rasulullah SAW dalam rangka menjaga persaingan usaha di antara pelaku usaha dan menjaga kerugian yang diderita oleh konsumen.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait