Kebijakan ini jelas terlihat dalam kisah sahabat yang bernama Abyad bin Hammal. Awalnya, Abyad bin Hammal menuntut diberikan satu bidang tanah di daerah Ma’rib, kemudian Rasulullah mengabulkan permintaan itu.
Namun, seorang laki-laki bernama Aqra’ bin Habis berdiri sambil bertanya kepada Rasulullah SAW “Adakah Engkau tahu kondisi
lokasi itu sebenarnya?” sembari menjelaskan bahwa kawasan itu adalah sumber air yang menghasilkan garam. Mendengar penjelasan tersebut, Rasulullah menarik kembali pemberian daerah yang telah diberikannya kepada Abyad bin Hammal," tulis HR Abu Dawud dan Tirmidzi.
Demikian juga ketika Abyad bin Hammal mengajukan permohonan untuk memiliki tanah yang berisikan pohon alArak (kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu sugi). Rasulullah hanya mengizinkan daerah itu dengan syarat harus jauh dari tempat pemukiman penduduk pusat Pasar Madinah. Sebab, kawasan pinggiran Madinah adalah kawasan perumahan dan padang rumput sebagai tempat makanan hewan-hewan ternak.
Dalam hal pasar, pendirian pasar adalah salah satu agenda nasionalisasi yang dilakukan Rasulullah dan umat Islam sesampainya di Madinah pascahijrah. Sebagai kota yang telah lama berdiri, Madinah adalah kota yang telah mempunyai infrastruktur seperti pasar. Pasar yang telah eksis di sana adalah pasar Bani Qainuqa’ yang dikuasai orang Yahudi.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait