JAKARTA, iNewsSerpong.id - Istilah ghibah tentunya tak asing lagi di telinga kita. Mengutip buku "Panduan Ibadah Ramadhan"karya Annisa Nurul Hasanah, Lc, ghibah atau gibah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah membicarakan keburukan orang lain.
Perilaku ini merupakan salah satu akhlak tercela yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Orang yang melakukan ghibah diibaratkan seperti orang yang sedang makan bangkai saudaranya sendiri.
Firman Allah SWT:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اجۡتَنِبُوۡا كَثِيۡرًا مِّنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعۡضَ الظَّنِّ اِثۡمٌۖ وَّلَا تَجَسَّسُوۡا وَلَا يَغۡتَبْ بَّعۡضُكُمۡ بَعۡضًا ؕ اَ يُحِبُّ اَحَدُكُمۡ اَنۡ يَّاۡكُلَ لَحۡمَ اَخِيۡهِ مَيۡتًا فَكَرِهۡتُمُوۡهُ ؕ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيۡمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” ( QS Al-Hujurat : 12).Orang yang melakukan ghibah diibaratkan seperti orang yang sedang memakan bangkai saudaranya. Berkaitan dengan ghibah pada saat menjalankan ibadah puasa , terdapat beberapa hadis yang menjelaskannya, yaitu:
رُبَّ صَاىِٔمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ
“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja.” (HR Ibnu Majah)
Gugur Pahala Puasanya
Lebih lanjut buku ini mengutip pendapat Imam Al-Ghazali yang mengutip komentar al-Minawi terkait hadis tersebut. Hadis ini adalah ungkapan untuk orang yang mengerjakan puasa namun ia berbuka dengan sesuatu yang haram atau berbuka dengan memakan daging saudaranya (ghibah), orang semacam ini adalah orang yang berpuasa dan tidak mampu menjaga anggota tubuhnya untuk menjauhi perbuatan dosa.
Lebih lanjut al-Minawi menjelaskan, “kecuali rasa lapar” menunjukkan bahwa ia tidak lagi memeroleh pahala dari Allah, puasanya tidak lagi diterima akan tetapi ia tidak perlu mengganti puasanya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong, dan melakukan perbuatan bohong, maka Allah tidak membutuhkan lagi ia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR Al-Bukhari)Hadis ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Baththal dalam Syarh Shahih al-Bukhari menunjukkan bahwa puasa adalah menahan diri dari perkataan kotor dan bohong, sebagaimana seseorang menahan diri dari makan dan minum.
Jika seorang yang berpuasa tidak menahan diri dari perkataan kotor dan bohong, maka nilai puasanya akan berkurang, dibenci oleh Allah dan tidak diterima puasanya.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud bukan berarti bahwa puasa yang ia kerjakan batal, redaksi di atas hanya menunjukkan tahdir atau peringatan bagi orang-orang yang berbuat demikian pada bulan puasa. Dengan begitu ia tidak perlu membatalkan puasanya dan mengganti puasanya di kemudian hari.
Pendapat ini, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab didukung oleh Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal dan hampir seluruh ulama kecuali alAuza’i.
Editor : Syahrir Rasyid