Perang BubatLantas apa yang menyebabkan "permusuhan" itu terjadi dan muncul stereotip negatif tentang masing-masing etnis? Berdasarkan analisis pakar sejarah dan sosiologi, akar masalah "permusuhan" Jawa dan Sunda adalah cerita tentang Perang Bubat yang termuat dalam Kidung Sundayana dan Pararaton pada masa kolonial Belanda.
Tujuan utama propaganda Perang Bubat adalah memecah belah kerukunan dua etnis Sunda dan Jawa. Sebab, dua etnis terbesar di Pulau Jawa itu merupakan potensi ancaman sangat berbahaya bagi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda kala itu.
Diketahui, Kidung Sundayana yang ditulis pujangga Bali menceritakan, konon terjadi peristiwa berdarah Perang Bubat antara pasukan Kerajaan Sunda dengan Majapahit di alun-alun Bubat, kawasan utara Trowulan, ibu kota Majapahit, pada 1279 Saka atau 1357 Masehi.
Konon dalam peristiwa berdarah itu, seluruh prajurit dan Raja Linggabuana dari Kerajaan Sunda tumpas, termasuk sang putri jelita, Dyah Pitaloka Citraresmi yang semula hendak dinikahkan dengan Raja Hayamwuruk.
Kolonial Belanda berhasil mempropagandakan cerita itu hingga muncul mitos dan stereotip atau sentimen negatif di kedua etnis. Mitos dan stereotip yang kerap terdengar adalah, lelaki Jawa tidak boleh menikah perempuan Sunda yang umumnya berparas cantik.
Distereotipkan pula, perempuan Sunda yang cantik cenderung pemalas, lebih suka menghabiskan waktu berdandan daripada mengurus rumah tangga, tidak setia, tidak bisa diajak hidup susah, dan lain-lain.
Sebaliknya, di kalangan etnis Sunda karena dipengaruhi oleh cerita Perang Bubat, muncul dendam dan memandang Jawa sebagai orang-orang yang keji. Karenanya, orang Sunda melarang anak-anak mereka, terutama gadis, menikah dengan pria Jawa.
Bahkan hingga beratus tahun lamanya, tidak ada nama jalan Gajah Mada, Majapahit, dan Hayam Wuruk di Kota Bandung dan semua daerah di Jawa Barat. Begitu pun sebaliknya, tidak ada nama Jalan Pajajaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun, sejak Ridwan Kamil menjabat Gubernur Jabar pada 2018, di Kota Bandung terdapat Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk di dekat Gedung Sate. Tidak ada reaksi negatif sedikit pun dari warga Kota Bandung terhadap penamaan jalan itu.
Selanjutnya, Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo melakukan rekonsiliasi budaya dengan saling menggelar pementasan seni Sunda dan Jawa di Kota Bandung dan Solo, Jawa Tengah. Rekonsiliasi budaya juga disepakati dengan Pemprov Jawa Timur.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait