Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan Kab. Tangerang
GEMA TAKBIR, tahmid dan tahlil menandai pergantian bulan suci Ramadhan dengan bulan Syawal. Umat Islam di seluruh penjuru dunia pun menyambut pergantian bulan tersebut dengan penuh suka cita dengan merayakan Idul Fitri 1445 H.
Namun demikian, umat Islam jangan terlena oleh perayaan Idul Fitri. Sejatinya bulan Syawal merupakan bulan pembuktian terhadap hasil tarbiyah (pendidikan dan pelatihan) selama sebulan penuh di bulan suci Ramadhan.
Selama bulan suci Ramadhan, umat Islam dididik dan dilatih untuk membiasakan berbagai macam ibadah, baik yang wajib maupun sunnah. Ibadah yang dilakukan sendiri-sendiri dan bersifat individual, maupun ibadah yang dilakukan secara berjamaah dan bersifat sosial.
Bulan Syawal Bulan Peningkatan
Hasil dari proses tarbiyah tersebut harus dibuktikan dimulai dari bulan Syawal ini. Apakah di bulan Syawal, ibadah-ibadah tersebut secara istiqamah (konsisten) terus dilaksanakan, bahkan meningkat atau malah sebaliknya?
Oleh karenanya, bulan Syawal identik dengan bulan peningkatan. Secara bahasa, syawal bermakna peningkatan; meningkat; atau terbit. Para ulama memaknai bulan Syawal sebagai bulan dimana umat Islam meningkatkan amal ibadahnya setelah dididik dan dilatih selama bulan suci Ramadhan.
Adalah kurang tepat jika beranggapan bahwa hanya di bulan suci Ramadhanlah waktu yang dapat digunakan untuk memaksimalkan ibadah. Kurang tepat pula jika beranggapan hanya di bulan suci Ramadhan umat Islam dapat menumpuk pahala sehingga setelahnya cukup beribadah sekedarnya.
Yang tepat adalah bulan suci Ramadhan merupakan bulan tarbiyah, dimana umat Islam dididik dan dilatih untuk membiasakan serta memaksimalkan ibadahnya, sedangkan bulan Syawal dan bulan-bulan lainnya adalah ajang pembuktiannya.
Dimulai dari bulan Syawal inilah umat Islam harus dapat membuktikan keberhasilannya dalam mengikuti proses tarbiyah selama bulan suci Ramadhan. Keberhasilan seseorang dalam mengikuti tarbiyah Ramadhan sejatinya ditentukan pada sebelas bulan setelah bulan suci Ramadhan.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
Dalam kitab Lathaiful Ma’arif karya Ibnu Rajab Al-Hambali halaman 313, Imam Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang bersungguh-sungguh dan rajin ibadahnya hanya di bulan Ramadhan. Beliau menjawab:
“Mereka adalah seburuk-buruk kaum, karena tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan. Sesungguhnya hamba yang shalih adalah yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh.”
Lebih jauh lagi, Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl [16] ayat 92 yang artinya: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali ... (hingga akhir ayat)”.
Jika kita cermati ayat di atas, Allah SWT melarang kita berperilaku seperti seorang perempuan yang mengurai benang yang telah dipintalnya dengan kuat menjadi cerai berai kembali. Benang yang dipintal menjadi kain pun kemudian rusak, koyak dan lepas satu per satu.
Jika dikaitkan dengan bulan Ramadhan, maka ayat ini memberikan gambaran bahwa selama bulan Ramadhan, banyak ummat Islam yang melatih dirinya dengan melaksanakan berbagai ibadah. Ibadah wajib maupun sunnah dikerjakan demi meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya.
Setiap jenis ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan diibaratkan sebagai lembaran benang berwarna warni, yang awalnya tercerai berai, lemah dan terpisah. Kemudian dirajut sedemikian rupa sehingga menjadi kain yang kokoh dan indah yang disebut dengan pakaian taqwa.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakain indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A’raf [7]: 26).
Namun apa yang terjadi?
Setelah bulan suci Ramadhan berlalu, perlahan-lahan kain yang sudah dirajut dengan kokoh itu pun mulai terurai benangnya satu per satu. Banyak umat Islam yang mulai meninggalkan kebiasaan tilawah, qiyamul lail, shadaqah, dan amal-amal shalih lainnya.
Bagi umat Islam yang tetap istiqamah, tentu bulan Syawal ini menjadi saat yang tepat untuk membuktikan ketaqwaanya. (Foto: Ist)
Tanpa disadari, di bulan Syawal umat Islam justru mengalami penurunan gairah beribadah. Bulan Syawal yang harusnya menjadi bulan peningkatan sekaligus ajang pembuktian hasil tarbiyah Ramadhan, justru yang terjadi adalah penurunan kuantitas dan kualitas ibadah.
Tentu kondisi seperti di atas bukanlah kondisi yang diharapkan oleh siapa pun. Idealnya setelah sebulan penuh aktivitas ibadah dididik dan dilatih di bulan Ramadhan, maka pada bulan Syawal ini harus sudah menjadi kebiasaan, bahkan terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas ibadahnya.
Bagi umat Islam yang tetap istiqamah, tentu bulan Syawal ini menjadi saat yang tepat untuk membuktikan ketaqwaanya. Pada bulan Syawal terjadi peningkatan ibadah yang mengantarkannya menjadi insan yang lebih baik lagi dari sebelum datangnya bulan suci Ramadhan.
Oleh karenanya, mari kita jadikan bulan Syawal ini sebagai bulan pembuktian dan peningkatan amal-amal shalih kita. Dengan demikian maka gelar muttaqin akan tetap kokoh di dalam hati kita. Pakaian taqwa tetap akan menjadi pakain terindah sekaligus bekal terbaik bagi kita.
Bagi orang yang beriman, perbekalan yang terbaik adalah taqwa, yang dengannya dia akan mampu menjaga diri, harkat dan martabatnya dimana pun berada. Allah SWT berfirman yang artinya: “… Berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197).
Terakhir, teruntuk seluruh pembaca setia Hikmah Jum’at, izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan: “Selamat hari raya Idul Fitri 1445 H, taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.”
Semoga Allah SWT menerima seluruh ibadah kita di bulan suci Ramadhan 1445 H yang lalu, dan memberikan kesempatan kepada kita untuk dapat kembali berjumpa dengan bulan suci Ramadhan 1446 H yang akan datang dalam kondisi yang sehat, selamat, dan penuh dengan keberkahan. Aamiin. (*)
Bagi orang yang beriman, perbekalan yang terbaik adalah taqwa, membuatnya mampu menjaga diri, harkat dan martabat dimana pun berada. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait