Sinta Aulia Maulidiyah hanya bisa menghabiskan hari-harinya di tempat tidur. Sebelah kakinya membengkak, tidak memungkinkan belia 10 tahun ini bermain bersama teman sebayanya. Sejak tahun lalu, tumor yang bersarang di kakinya sudah membesar.
Tumor itu bermula dari insiden kecil. Seperti dituturkan Muchlisin, ayah Sinta Aulia, kala itu si buah hati ingin naik sepeda. Sontak kakinya tersangkut, membuat ia terjatuh. Sinta meringis kesakitan, suhu tubuhnya panas. Hari berganti, suhu badannya kian memanas. Perlahan-lahan muncul benjolan di kaki, lalu membengkak.
Upaya pengobatan segera dilakukan. Muchlisin membawa putrinya itu ke rumah sakit. Setelah dirontgen, biang penyakitnya ketahuan. Ada tumor di kaki Sinta Aulia. Tindakan kemoterapi diambil, tetapi tidak beranjut. Sinta tidak kuat karena sebelum kemoterapi ada transfusi darah dulu. Lebih dari itu, ada kendala jarak dari kediamanannya di Desa Samaran Kecamatan Pamotan, Rembang, Jawa Tengah, ke rumah sakit. Setelah itu, tak ada lagi tindakan medis layaknya pengobatan penderita tumor.
Tak terbayangkan perasaan Muchlisin bersama keluarga menghadapi kondisi Sinta yang hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan kaki bengkak dibalut selimut. Kesedihan sulit dihindari. Boleh jadi, kesedihan berubah kepasrahan—hal yang membuat keadaan si buah hati akan menjadi lebih ruyam.
Ternyata, Sinta tak kenal kata pasrah. Ia terus berusaha. Semangat untuk sembuh lebih kuat mendorongnya untuk mengambil tindakan. Dia ingin sembuh. Keinginannya kembali menjalani hari-hari seperti teman sebaya tak padam. Ia terus berusaha mencari cara agar bisa lepas dari derita akibat tumor.
Sinta lalu mengenang masa-masa di sekolah. Di sekolah ia aktif dalam kegiatan kepramukaan. Bripka Muji Sutrisno, Bhabinkamtibmas yang bertugas di desa itu, menjadi pembina. Keduanya menjadi akrab. Keakraban membuat Sinta tak sungkan menyampaikan keinginannya tampil laiknya seorang polisi. Ia ingin memiliki seragam polisi. Bripka Muji memenuhi permintaan Sinta. Polisi itu menyempatkan diri membeli seragam polisi cilik di Semarang.
Seragam itu yang menginsipirasi Sinta. Mengenakan seragam pemberian Bripka Muji, ia memberanikan diri menyapa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui media sosial. Mengaku bercita-cita menjadi Polwan, ia mengutarakan isi hatinya. Dia minta dibantu agar bisa sembuh dari penyakitnya.
Gayung pun bersambut. Nurani Kapolri tersentuh. Hati kecil jenderal polisi itu tergugah. Tak butuh waktu lama, Kapolri menghubungi Sinta melalui video call saat jenderal polisi itu kunjungan kerja ke Jawa Timur. Sinta dalam video tampak terbaring lemah di atas tempat tidur didampingi ibunya.
Mengawali pembicaraan, Kapolri menyatakan sudah memperoleh informasi kiriman TikTok dari masyarakat dan anggota polisi, anak buahnya.
“Apa yang Mbak Sinta inginkan?" Sigit bertanya.
"Pengen sembuh, Pak," ujar Sinta lirih.
Tanpa perlu berpikir panjang, Kapolri menyanggupi. Dia menyatakan segera mengirim tim dokter ke rumah Sinta dan membawanya ke Jakarta untuk diambil tindakan medis. Sinta diterbangkan ke Jakarta menggunakan helikopter, langsung dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta.
Tindakan medis segera diambil. Kapolri bersama istri datang ke rumah sakit menemui Sinta, seperti yang dijanjikan saat berbicara melalui video call. Jenderal Listyo Sigit memberi semangat untuk menjalani pengobatan. Kerinduan Sinta bisa bertemu Kapolri pun terwujud.
Sinta sudah menjalani pengobatan. Apa boleh buat, tindakan amputasi—atas persetujuan Sinta dan orang tua--terpaksa diambil karena tumor di kakinya sudah membesar. Tentu itu pilihan paling memungkinkan agar sel-sel tumor tidak menjalar ke organ tubuh yang lain. Setelah dilakukan pengobatan, kondisinya membaik.
Kondisi yang dialami Muchlisin bersama anaknya mengingatkan kejadian serupa, sebelas tahun lalu. Kala itu, seorang anak lelaki seusia Sinta berenang bersama teman-teman kelasnya di sebuah kolam renang, diawasi guru olahraga.
Namanya anak-anak, berenang kerap diselengi canda. Tanpa disengaja, terjadi benturan. Kaki seorang anak membentur muka si anak. Sampai di sini tak ada masalah. Guru pun bisa memahami kelakuan anak didiknya.
Masalah kemudian muncul saat tiba di rumah. Malam hari wajahnya mulai berubah. Pipi sebelah kiri tampak berbeda dengan sebelah kanan. Rupanya ada pembekakan di guzi bagian atas.
Sore berikutnya si anak dibawa ke dokter umum. Sayangnya, dokter tak berani mengambil tindakan lebih jauh. Disarankan berobat ke dokter gigi. Serupa dengan dokter umum, dokter gigi enggan berbuat banyak mengingat usia pasien masih 9 tahun. Dia menyarankan dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas laboratorium gigi lengkap.
Di rumah sakit gigi inilah biang pembekakan itu terdeteksi. Ternyata tumor mulai menyerang, bahkan sudah menjadi kanker. Kepanikan di keluarga tak terhindarkan. Pangkal soalnya, ini bukan penyakit biasa. Kala itu, jarang terdengar anak-anak terserang kanker.
Setelah berkeliling ke sejumlah tempat, anak itu akhirnya menjalani pengobatan di rumah sakit khusus penderita kanker. Kemoterapi rutin dijalani. Tidak jarang jadwal diundur bila kondisi tubuhnya menurun. Setelah menjalani prosedur pengobatan, anak laki-laki itu bisa kembali ke bangku sekolah dan menjalani hari-hari seperti masa-masa sebelumnya.
Berkaca dari sini, tampaknya masalah yang dihadapi Sinta karena ketidakpahaman orang tua pentingnya segera memberikan pengobatan jika ada benjolan di tubuh anak. Banyak kasus di Indonesia yang berakhir seperti Sinta lantaran orang tua kurang paham tentang tumor—sebagaimana dilakukan terhadap anak laki-laki yang segera diperiksakan saat ditemukan benjolan tumor di pipinya.
Kini Sinta Aulia sudah menjalani pengobatan. Kita berharap ia segera sembuh, terbebas dari tumor. Sulit membayangkan kondisinya andai dia hanya bisa berbaring di tempat tidur tanpa tindakan medis sebagaimana mestinya. Tidak terbayang kondisi belia 10 tahun itu andai tak ada uluran tangan seorang jenderal polisi yang berhati mulia: Kapolri Listyo Sigit Prabowo. (*)
Editor : Burhan
Artikel Terkait