Ada juga yang sebaliknya. Di saat dia bahagia maka dia mendekat, beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Dia pun merasa sedang dimuliakan oleh Allah. Namun, pada saat dia susah, dia pun menjauh dari Allah dan dia merasa sedang dihinakan oleh Allah Ta’ala.
Perhatikan firman Allah Ta’ala yang artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia memuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: Tuhanku telah memuliakanku; dan adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr [89]: 15-16).
Persepsi manusia seperti yang terdapat pada ayat di atas adalah persepsi yang keliru. Sayangnya, persepsi seperti itu banyak menjangkiti umat Islam. Padahal, ukuran keridhaan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya bukan dilihat dari banyak dan sedikit hartanya atau ukuran duniawi lainnya.
Oleh karena itu, bagaimana pun kondisi yang kita alami dan rasakan, maka hendaknya kita tetap menjaga ketakwaan kita. Tak boleh berkurang kadar ketakwaan kita hanya karena kesulitan hidup yang menimpa diri kita atau sebaliknya.
Selain itu, Baginda Rasulullah SAW juga bersabda: “Bertakwalah kamu kepada Allah dimana pun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik.” (HR. At-Tirmidzi).
Jadi berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang pertama di atas dapat dijawab bahwa memang banyak terdapat manusia di antara kita yang iman dan takwanya sangat bergantung kepada suasana, tempat, waktu, situasi, dan kondisi.
Keimanan dan ketakwaan seseorang yang seperti diuraikan di atas, dapatlah kita kategorikan sebagai keimanan dan ketakwaan yang tidak sungguh-sungguh alias main-main. Keimanan dan ketakwaan seperti inilah yang tidak diharapkan oleh Allah Ta’ala.
Terkait dengan pertanyaan yang kedua, mari kita simak firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa [4]: 137).
Na’udzubillahi min dzalik. Ayat di atas menjelaskan kepada kita akan adanya orang-orang yang telah beriman kepada ajaran Islam, kemudian dia kembali kepada kekafirannya. Setelah itu, dia beriman lagi dan kemudian kembali kepada kekafirannya lagi.
Ukuran keridhaan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya bukan dilihat dari banyak dan sedikit hartanya atau ukuran duniawi lainnya. (Foto: Ist)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait