HIKMAH JUMAT : Fondasi Ibadah Seorang Muslim

Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si.
Laksana sebuah bangunan, ibadah juga memerlukan fondasi yang dalam dan kokoh. (Foto: Ist)

Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang 

SEMAKIN TINGGI suatu bangunan, maka harus semakin dalam dan kokoh fondasi yang digunakannya. Bentuk, ukuran dan bahan fondasi bangunan satu lantai, tentu akan berbeda dengan yang dua lantai, apalagi jika sampai puluhan atau ratusan lantai.

Betapa bahayanya suatu bangunan yang didirikan di atas fondasi yang rapuh. Bukannya mendapatkan kenyamanan dan keamanan saat digunakan, yang ada justru ancaman, bahaya, dan bisa jadi kehancuran ketika digunakan.

Fondasi yang tidak kokoh dan lemah tidak akan mampu menahan beratnya beban dari bangunan yang ada di atasnya. Belum lagi jika ditambah dengan beban dari para penghuni dan peralatan yang ada di dalamnya.

Demikian pula dengan ibadah seorang muslim. Laksana sebuah bangunan, ibadah juga memerlukan fondasi yang dalam dan kokoh. Tanpa fondasi yang dalam dan kokoh maka bukannya pahala dan surga yang diraihnya, melainkan bisa jadi dosa dan neraka yang didapatkannya.

Tauhid! Ya, tauhid! Itulah fondasi dari seluruh ajaran dalam agama Islam.

Oleh karenanya, tidak dapat dikatakan sebagai seorang muslim, jika belum mengucapkan syahadatain. Dengan mengucapkan syahadatain, maka orang tersebut mengakui bahwa hanya Allah yang pantas disembah dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah yang terakhir.

Tauhid adalah konsep sentral dalam ajaran Islam yang menekankan keyakinan dan pengesaan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Tuhan yang pantas untuk disembah. Oleh karenanya segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dihukumi sebagai syirik.

Kata "tauhid" berasal dari Bahasa Arab "wahhada" yang berarti menyatukan atau mengesakan. Dalam konteks ajaran Islam, tauhid mengacu pada kepercayaan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terjadi atas kehendak-Nya.


Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
 

Tauhid adalah inti dari seluruh ajaran Islam dan dasar keimanan seorang muslim. Semua amal ibadah dan perbuatan baik tidak akan diterima oleh Allah jika tidak dilandasi oleh tauhid yang murni. Oleh karena itu, mempelajari tauhid adalah kewajiban bagi setiap Muslim agar dapat memahami keesaan Allah dengan benar dan menjauhkan diri dari segala bentuk kemusyrikan.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad [47]: 19).

Ayat di atas mengandung makna bahwa mengetahui mengharuskan untuk mengakui dengan hati dan mengenal makna yang terkandung di dalamnya. Pengetahuan dan ilmu tentang tauhid (laa ilaaha illallaah) menjadi sempurna tatkala mengerjakan segala konsekuensinya.

Konsekuensi dari kalimat tauhid dapat kita lihat pada firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sembahlah Allah (saja) dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 36).

Dalam tafsir Tahlili, ayat di atas dijelaskan bahwa mengabdi dan menyembah kepada Allah (beribadah) harus disertai dengan hati yang ikhlas, mengakui keesaan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Itulah kewajiban seorang muslim (hamba) kepada Allah.

Dengan kata lain, beribadah kepada Allah dan mengesakan-Nya adalah hak Allah yang wajib dipenuhi dan ditunaikan oleh seorang hamba. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam percakapan antara Mu’adz bin Jabbal RA dengan Baginda Rasulullah SAW seperti pada hadits berikut ini.

Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Muadz! Tahukan engkau apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah?” Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”

Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Hak Allah yang wajib dipenuhi para hamba-Nya ialah mereka hanya beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ialah sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”


Ketika seorang muslim melakukan kemusyrikan, maka sejatinya dia telah menghancurkan bangunan ibadahnya. (Foto: Ist)
 

Muadz bertanya: “Wahai Rasulullah! Tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?” Baginda Rasulullah menjawab: “Janganlah kau sampaikan kabar gembira ini kepada mereka sehingga mereka akan bersikap menyandarkan diri (kepada hal ini dan tidak beramal shalih).”

Hadist di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Awanah, Ath-Thabrani, Abu Dawud ath-Thayalisi, dan masih banyak perawi lainnya. Namun dalam riwayat Al-Bukhari ada tambahan: “Lalu di akhir hayatnya, Muadz mengabarkan hadits ini (kepada manusia) karena takut dosa (menyembunyikan) ilmu.”

Ketika seorang muslim melakukan kemusyrikan, maka sejatinya dia telah menghancurkan bangunan ibadahnya. Merugilah dia dan apabila dia tidak bertaubat hingga ajal menjemputnya, dipastikan dia akan ditempatkan di neraka Jahanam kekal selama-lamanya. Na’udzubillah.

Perhatikan firman Allah yang artinya: “Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahatnya makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6).

Musyrik adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk dosa besar yang paling besar dosanya. Maka, sungguh sangat mengerikan akibat dari kemusyrikan yang dilakukan seseorang terhadap Allah Ta’ala. Dosanya pun tidak terampuni. Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut ini.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa pun yang mempersekutukan Allah sungguh telah berbuat dosa yang sangat besar.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 48).

Di sinilah letak perlunya ilmu terkait dengan fondasi utama seorang muslim dalam beribadah kepada Allah, yakni tauhid. Hancurlah bangunan ibadah seorang muslim ketika ibadahnya tersebut bercampur dengan syirik. Bukan pahala yang dia dapatkan, melainkan dosa yang dia raih.   

Dengan tauhid yang kokoh maka seorang muslim akan selamat dari bahayanya syirik. Dengan tauhid pula, bangunan ibadah seorang muslim akan menjadi kuat dan indah. Hadiah berupa jaminan surga yang menjadi haknya pun, pasti diberikan oleh Allah Sang Pemilik Surga. (*)    


Hancurlah bangunan ibadah seorang muslim ketika ibadahnya tersebut bercampur dengan syirik. (Foto: Ist)

 

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Editor : Syahrir Rasyid

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network