Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
SAAT INI kita tengah bersiap untuk memperingati hari yang sangat monumental yakni Hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober. Sumpah Pemuda adalah ikrar pemuda Indonesia saat itu, yakni satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Tiga ikrar ini menjadi pilar yang melahirkan kemerdekaan dan persatuan Indonesia.
Namun seiring waktu, tampaknya semangat itu perlahan mulai memudar di tengah derasnya arus modernitas, hedonisme, dan perpecahan sosial. Kini muncul pertanyaan penting: masihkah semangat Sumpah Pemuda mengalir deras di jiwa generasi muda Indonesia?
Dalam situasi inilah, Islam hadir sebagai cahaya pembimbing. Islam tidak hanya mengatur ibadah, tapi juga menanamkan nilai-nilai persatuan, tanggung jawab, dan perjuangan. Oleh karenanya, merevitalisasi itu berarti menghidupkan kembali ajaran Islam dalam kehidupan pemuda masa kini.
Kedudukan Pemuda dalam Pandangan Islam
Pemuda menempati posisi atau kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam. Mereka adalah tulang punggung perubahan dan penentu arah masa depan umat. Dalam Al-Qur’an diceritakan kisah tentang pemuda yang sangat luar biasa, yakni Ashabul Kahfi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi [18]: 13)
Ayat ini menggambarkan Ashabul Kahfi, yaitu sekelompok pemuda yang berani menegakkan iman di tengah masyarakat yang kufur. Mereka menjadi simbol keteguhan, keberanian, dan kesetiaan pada prinsip tauhid.
Baginda Rasulullah SAW juga menaruh perhatian besar pada pemuda. Dalam sebuah hadits sahih disebutkan: “Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya, salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa pemuda yang menjaga iman dan ibadah di usia muda memiliki kedudukan mulia di sisi Allah. Usia muda adalah masa energi, semangat, dan pencarian jati diri, maka bila diarahkan kepada kebaikan, ia menjadi pilar peradaban dan sumber rahmat bagi umat.
Pada hadits yang lain, Baginda Rasulullah SAW juga bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
Pemuda yang tidak memiliki shabwah adalah pemuda yang tidak mengikuti hawa nafsu, senang melakukan kebaikan, dan berusaha keras menjauhi keburukan. Begitulah karakter pemuda yang dibanggakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena itu, ketika kita berbicara tentang revitalisasi Sumpah Pemuda, sejatinya kita sedang berbicara tentang menghidupkan kembali peran spiritual, moral, dan sosial pemuda muslim agar menjadi agen perubahan sebagaimana para sahabat muda Rasulullah SAW dahulu.
Persatuan dalam Bingkai Tauhid
Nilai pertama Sumpah Pemuda adalah persatuan, dan Islam menempatkan persatuan sebagai tuntunan ilahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran [3]: 103)
Persatuan yang dimaksud bukan sekadar kesepakatan politik, tetapi persatuan hati dalam keimanan. Tauhid menjadi dasar ukhuwah, karena hanya dengan menundukkan ego di hadapan Allah, manusia dapat menyatu dalam kasih sayang dan tanggung jawab bersama.
Pemuda muslim masa kini harus sadar bahwa musuh terbesar bukanlah perbedaan pandangan, melainkan perpecahan yang lahir dari kebencian dan kedengkian. Maka, menghidupkan Sumpah Pemuda berarti menguatkan ukhuwah Islamiyah, saling menghargai, bekerja sama, dan berjuang bersama untuk kemaslahatan umat.
Cinta Tanah Air sebagai Wujud Iman
Ungkapan “Hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman) walau bukan hadits sahih, mencerminkan semangat Islam tentang kepedulian terhadap negeri. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Maka, mencintai Indonesia berarti berkontribusi nyata: belajar sungguh-sungguh, bekerja dengan jujur, menjaga keadilan sosial, dan melawan segala bentuk korupsi serta kerusakan moral. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa [4]: 58)
Negeri ini, Indonesia, adalah amanah. Setiap pemuda muslim memikul tanggung jawab untuk menjadikannya tempat yang damai, adil, dan bermartabat. Cinta tanah air tidak berhenti di lisan, tapi diwujudkan dalam kerja nyata dan akhlak mulia.
Nilai pertama Sumpah Pemuda adalah persatuan, dan Islam menempatkan persatuan sebagai tuntunan ilahi. (Foto: Ist)
Bahasa dan Akhlak: Cermin Peradaban
Sumpah Pemuda yang ketiga adalah satu bahasa Indonesia memiliki makna yang dalam. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi penyatu perasaan dan pikiran bangsa. Islam sangat menekankan adab dalam berbicara.
Bahasa yang baik mencerminkan iman dan akhlak. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di era digital saat ini, bahasa sering menjadi sumber perpecahan seperti ujaran kebencian, fitnah, dan caci maki. Pemuda muslim harus menjadi pelopor kesantunan digital dengan cara menggunakan bahasa untuk menyebarkan ilmu, kedamaian, dan inspirasi.
Bahasa yang beradab adalah modal peradaban. Dari lisan yang baik, lahirlah tulisan yang bijak; dari tulisan yang bijak, lahir masyarakat yang cerdas. Inilah pemuda harapan bangsa yang dapat diandalkan menjadi agen perubahan dalam kebaikan.
Revitalisasi Semangat Juang Pemuda
Pemuda adalah energi perubahan. Sejarah Islam telah membuktikan itu semua. Dalam sejarah Islam tercatat nama-nama pemuda yang hebat seperti Ali bin Abi Thalib yang sudah memeluk Islam di usia belia dan menjadi pelindung Baginda Rasulullah SAW.
Ada lagi pemuda yang bernama Mus’ab bin Umair, pemuda tampan dari Makkah, meninggalkan kemewahan demi dakwah di Madinah. Yang lainnya adalah Usamah bin Zaid, di usia 18 tahun, dipercaya oleh Baginda Rasulullah SAW memimpin pasukan besar menuju Syam.
Mereka muda, tapi matang dalam iman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)
Artinya, perubahan bangsa ini bergantung pada perubahan diri para pemudanya. Jika pemuda hari ini tumbuh dengan iman, ilmu, dan akhlak, maka masa depan bangsa akan bercahaya. Indonesia Emas 2045 in syaa Allah tidak akan berubah menjadi Indonesia Cemas, jika pemudanya beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Dengan demikian, revitalisasi nilai Sumpah Pemuda berarti menanamkan kembali niat berjuang karena Allah. Belajar bukan sekadar untuk pekerjaan, tapi untuk kemaslahatan umat. Bekerja bukan hanya mencari rezeki, tapi menjadi ladang ibadah. Dengan begitu, semangat kebangsaan menyatu dengan semangat keimanan. (*)
Di era digital bahasa sering jadi sumber perpecahan seperti ujaran kebencian dan fitnah. Pemuda muslim harus jadi pelopor kesantunan digital. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait
