Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
RAJAB ADALAH bulan Shalat. Oleh karenanya, mari kita jadikan bulan Rajab sebagai momentum bagi kita untuk melakukan evaluasi dan peningkatan kualitas shalat kita. Mari temukan makna serta ketenangan sejati dengan shalat.
Shalat merupakan ibadah paling mendasar dalam kehidupan seorang Muslim. Ia adalah rukun Islam kedua setelah syahadat dan menjadi amalan pertama yang akan dihisab pada hari kiamat.
Namun, realitas yang sering kita jumpai hari ini menunjukkan bahwa shalat kerap dilakukan sebatas rutinitas: dikerjakan karena kewajiban, dikejar waktu, bahkan terkadang dilakukan tanpa penghayatan.
Padahal, shalat sejatinya adalah sarana utama untuk membangun hubungan spiritual dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sumber ketenangan jiwa yang hakiki. Shalat sebagai fondasi kehidupan bagi seorang muslim sejati.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan kedudukan shalat dalam Al-Qur’an sebagai ibadah yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apa pun, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa [4]: 103)
Ayat ini menunjukkan bahwa shalat bukan sekadar aktivitas ibadah biasa, melainkan kewajiban yang terikat waktu dan memiliki konsekuensi spiritual yang besar. Lima waktu dalam sehari semalam yang Allah jadikan kewajiban bagi seorang muslim.
Shalat adalah fondasi yang menopang keimanan dan menjadi cermin kualitas hubungan seorang hamba dengan Rabbnya. Jika shalatnya baik, maka besar kemungkinan amalan lainnya pun ikut baik.
Rutinitas Tanpa Makna: Tantangan Shalat di Era Modern
Kesibukan dunia modern sering kali membuat shalat kehilangan ruh atau makna. Jadwal yang padat, tekanan pekerjaan, serta distraksi teknologi menyebabkan banyak orang melaksanakan shalat dengan terburu-buru.
Bacaan diucapkan tanpa tadabbur, gerakan dilakukan tanpa kehadiran hati, dan pikiran melayang pada urusan dunia. Baginda Rasulullah SAW telah mengingatkan kondisi ini dalam sabdanya:
“Betapa banyak orang yang shalat, namun tidak mendapatkan dari shalatnya kecuali rasa lelah.” (HR. Ahmad)
Hadits ini menjadi peringatan keras bahwa shalat yang dilakukan tanpa kekhusyukan dan penghayatan dapat kehilangan nilai spiritualnya. Shalat semacam ini hanya menggugurkan kewajiban, tetapi belum tentu mendatangkan ketenangan dan perubahan akhlak.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Shalat pada hakikatnya adalah dialog langsung antara seorang hamba dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits qudsi, Baginda Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah berfirman:
“Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Ketika hamba-Ku mengucapkan ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’, Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’…” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap bacaan dalam shalat memiliki makna dan respons dari Allah. Allah merespons langsung setiap bacaan atau do’a dari seorang hamba yang diucapkannya ketika sedang shalat, khususnya ketika membaca surat Al Fatihah.
Oleh karenanya, ketika seorang muslim menyadari akan hal ini, shalat tidak lagi terasa sebagai kewajiban yang memberatkan, melainkan sebagai momen istimewa untuk bermunajat, mengadu, dan memohon pertolongan kepada Sang Pencipta.
Shalat Sumber Ketenangan Jiwa
Salah satu hikmah terbesar dari shalat adalah ketenangan jiwa. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Shalat adalah bentuk dzikir paling sempurna, karena di dalamnya terdapat bacaan Al-Qur’an, tasbih, tahmid, dan doa. Ketika shalat dilakukan dengan khusyuk, hati akan merasakan ketenangan yang tidak bisa digantikan oleh apa pun.
Bahkan Baginda Rasulullah SAW menjadikan shalat sebagai penyejuk jiwa, sebagaimana sabdanya: “Wahai Bilal, tenangkanlah kami dengan shalat.” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwa shalat bukan beban, melainkan sarana istirahat ruhani dari hiruk-pikuk kehidupan dunia. Di mana kekhusyukan menjadi kunci utamanya.
Bahkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut kekhusyukan sebagai ciri utama orang-orang beriman: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 1–2)
Khusyuk bukan berarti mengosongkan pikiran sepenuhnya. Khusyuk juga bukan berarti kita tidak merasakan atau mendengar apa pun saat shalat. Khusyuk adalah menghadirkan hati dan kesadaran bahwa kita sedang berdiri di hadapan Allah.
Shalat adalah fondasi yang menopang keimanan dan menjadi cermin kualitas hubungan seorang hamba dengan Rabbnya. (Foto: Ist)
Upaya menuju khusyuk dapat dilakukan dengan memahami arti bacaan shalat, menjaga pandangan ke tempat sujud, serta mempersiapkan shalat sejak berwudhu dengan penuh kesadaran.
Shalat yang didirikan dengan penuh kekhusyukan dan bermakna akan memberikan dampak nyata dalam perilaku sehari-hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 45)
Jika shalat belum mampu mencegah seseorang dari keburukan, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas shalat tersebut. Shalat yang benar akan membentuk akhlak, menumbuhkan kesabaran, dan memperkuat komitmen moral dalam kehidupan sosial.
Mengembalikan Ruh Shalat dalam Kehidupan
Menghidupkan kembali makna shalat membutuhkan kesungguhan dan mujahadah. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain memperbaiki niat, memahami bacaan, dan memperlambat gerakan shalat.
Selain itu, meluangkan waktu untuk shalat sunnah adalah sarana untuk melatih kekhusyukan. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Meneladani cara shalat Baginda Rasulullah SAW bukan hanya pada gerakan lahiriah, tetapi juga pada kekhusyukan, ketenangan, dan kehadiran hati beliau dalam setiap shalat. Dengan demikian maka ruh atau makna shalat akan mampu kita rasakan dan akan berdampak dalam kehidupan sehari-hari.
Mari kita tingkatkan kualitas shalat kita, bukan sekadar rutinitas lima waktu yang dilakukan untuk menggugurkan kewajiban semata. Jadikan shalat kebutuhan ruhani, dialog suci, dan sumber ketenangan sejati bagi seorang muslim.
Ketika shalat didirikan dengan penuh makna dan kesadaran, ia akan mengubah cara pandang hidup, memperbaiki akhlak, serta mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah shalat yang kita kerjakan selama ini telah benar-benar menghidupkan hati, ataukah masih sekadar gerakan tanpa ruh? Mari kita evaluasi dan tingkatkan terus kualitas shalat kita.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang menjaga shalat, menghayatinya, dan merasakan buah ketenangan dari ibadah yang agung ini. Aamiin. (*)
Shalat adalah bentuk dzikir paling sempurna, karena di dalamnya terdapat bacaan Al-Qur’an, tasbih, tahmid, dan doa. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait
