JAKARTA, iNewsSerpong.id - Uniknya pernikahan suku Baduy atau badui menjadi momen yang sayang untuk dilewatkan Masyarakat asli Banten ini disebut juga urang/orang Kanekes.
Meskipun tinggal di wilayah yang modern dan familiar dengan majunya teknologi, masyarakat suku Baduy lebih memilih untuk menetap di pedalaman dan menjalankan kehidupan yang sangat tradisional. Terutama, suku Baduy Dalam yang tidak menerima modernisasi atau pembangunan dari luar wilayah tinggalnya.
Melansir dari Jurnal Ilmu Hukum Kanun yang bertajuk 'Perbandingan Prosedur Perkawinan Adat Baduy dengan Kompilasi Hukum Islam', masyarakat Baduy sejatinya terbagi atas 3 golongan, yakni Baduy Tangtu atau Dalam, Baduy Panamping atau Luar, dan Baduy Dangka yang merupakan pecahan dari Baduy Panamping.
Sebenarnya, masyarakat Baduy tak terlalu menyukai sebutan ‘urang Baduy’ atau orang Baduy yang lazim diutarakan masyarakat luar. Mereka lebih senang disebut urang Kanekes atau urang Rawayan.
Uniknya Pernikahan Suku Baduy
Hidup sangat jauh dari ingar-bingar modernisasi membuat suku Baduy menjadi cukup terasingkan dan sangat tradisional. Dahulu, orang Baduy dilarang menikahi orang yang bukan berasal dari suku Baduy.
Namun seiring berjalanya waktu, kewajiban tersebut pudar. Sebab, masyarakat sadar bahwa perubahan seperti itu akan tetap terjadi, meskipun aturan adat sudah jelas melarang. Kini, sudah banyak orang Baduy Panamping yang menikahi orang Baduy dari golongan lain, atau bahkan bukan orang Baduy.
Bicara soal pernikahan, uniknya pernikahan suku Baduy adalah seorang anak harus menerima calon pasangan yang sudah ditentukan orang tua. Anak tidak boleh menentukan sendiri calon pendamping hidupnya.
Sebab, mereka percaya bahwa jodoh merupakan takdir dari leluhur. Usia calon pengantinnya pun masih sangat muda, yaitu 14 sampai 17 tahun bagi laki-laki dan 13 atau 14 tahun bagi perempuan.
Dalam Jurnal Bimbingan Konseling dan Keluarga dengan tajuk 'Sistem Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Provinsi Banten', dijelaskan bahwa tata cara perkawinan dari mulai peminangan sampai membina rumah tangga diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat.
Setelah calon jodoh sudah ditentukan, kedua keluarga bertemu dan bersilaturahmi. Tahap pengenalan ini dinamakan bobogohan. Biasanya, acara ini diiringi dengan alunan alat musik kecapi yang dibawa oleh pihak laki-laki.
Setelah kedua keluarga sepakat untuk melangsungkan pernikahan, maka diadakanlah lamaran. Uniknya pernikahan suku Baduy lagi adalah acara pernikahan hanya boleh dilakukan pada bulan ke-5, 6, dan 7 yang penanggalannya disesuaikan oleh Pikukuh.
Pikukuh sendiri merupakan aturan dan ajaran yang wajib dijalankan oleh masyarakat Baduy. Aturan ini mengatur segala hal yang dilarang dan diperbolehkan oleh masyarakat suku Baduy, sesuai dengan apa yang sudah digariskan leluhur.
Sebelum resmi menikah, calon pengantin pria diwajibkan untuk tinggal terlebih dahulu selama 2 hari di kampung calon mempelai perempuan. Hal ini dimaksudkan agar para ruh betah tinggal di tempat itu.
Sehari sebelum akad dilangsungkan, calon mempelai pria dijemput warga dari kampung si calon istri. Para warga ini membantu membawakan berbagai barang bawaan beserta makanan dan minuman.
Dalam proses pernikahan, pengantin akan mengucapkan ijab kabul yang disaksikan oleh penghulu. Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat, serta dipimpin oleh Pu’un yang akan mengesahkan pernikahan tersebut.
Satu hal yang perlu ditekankan, masyarakat Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian dalam rumah tangganya. Mereka hanya diperbolehkan menikah lagi jika pasangannya meninggal dunia. Uniknya pernikahan suku Baduy ya! (*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait