JAKARTA, iNewsSerpong.id - Rahasia dibolehkannya kawin mutah ialah karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita istilahkan dengan masa transisi dari jahiliah kepada Islam. Foto/Ilustrasi: Ist
Kawin mut'ah adalah ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula. Kawin mut'ah bisa juga disebut kawin kontrak dengan batas waktu dengan nilai mahar sesuai kesepakatan.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul " Halal dan Haram dalam Islam " menyebutkan bahwa kawin mut'ah pernah diperkenankan oleh Rasulullah SAW sebelum stabilnya syariah Islamiah. Kala itu Rasulullah SAW membolehkan kawin mut'ah ketika dalam bepergian dan peperangan. "Hanya saja setelah kondisi stabil kawin jenis ini kemudian diharamkannya untuk selama-lamanya," ujar Al-Qardhawi.
Baca juga: Kawin Kontrak atau Mut'ah: Dulu Sempat Dibolehkan, Mengapa Setelah Itu Haram?
Rahasia dibolehkannya kawin mut'ah waktu itu, kata Al-Qardhawi, ialah karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliah kepada Islam.
Sedangkan perzinaan di masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat.
Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.
Sedang bagi mereka yang kuat imannya berkeinginan untuk kebiri dan mengimpotenkan kemaluannya, seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud:
"Kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW sedang isteri-isteri kami tidak turut serta bersama kami, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh kami berkebiri? Maka Rasulullah SAW melarang kami berbuat demikian dan memberikan rukhshah supaya kami kawin dengan perempuan dengan maskawin baju untuk satu waktu tertentu." (HR Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, Al-Qardhawi mengatakan, maka dibolehkannya kawin mut'ah adalah sebagai suatu jalan untuk mengatasi problema yang dihadapi oleh kedua golongan tersebut dan merupakan jenjang menuju diundangkannya hukum perkawinan yang sempurna, di mana dengan hukum tersebut akan tercapailah seluruh tujuan perkawinan seperti: terpeliharanya diri, ketenangan jiwa, berlangsungnya keturunan, kecintaan, kasih-sayang dan luasnya daerah pergaulan kekeluargaan karena perkawinan itu.
Menurut al-Qardhawi, sebagaimana Al-Qur'an telah mengharamkan arak dan riba dengan bertahap, di mana kedua hal tersebut telah terbiasa dan tersebar luas di zaman jahiliah, maka begitu juga halnya dalam masalah haramnya kemaluan, Rasulullah tempuh dengan jalan bertahap juga. "Misalnya tentang mut'ah, dibolehkannya ketika terpaksa, setelah itu diharamkannya," ujarnya.
Haram Selama-lamanyaSeperti apa yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat yang lain, antara lain sebagai berikut:
"Dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia pernah berperang bersama Nabi SAW dalam peperangan fathu Makkah, kemudian Nabi memberikan izin kepada mereka untuk kawin mut'ah. Katanya: Kemudian ia (Saburah) tidak pernah keluar sehingga Rasulullah SAW mengharamkan kawin mut'ah itu." (HR Muslim)
Dalam satu riwayat dikatakan: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (Riwayat Muslim)
Tetapi apakah haramnya mut'ah ini berlaku untuk selama-lamanya seperti halnya kawin dengan ibu dan anak, ataukah seperti haramnya bangkai, darah dan babi yang dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa dan takut berbuat dosa?
Menurut pendapat kebanyakan sahabat, bahwa haramnya mut'ah itu berlaku selama-lamanya, tidak ada sedikitpun rukhshah, sesudah hukum tersebut diundangkan.
Tetapi Ibnu Abbas berpendapat lain, ia berpendapat boleh ketika terpaksa, yaitu seperti tersebut di bawah ini:
"Ada seorang yang bertanya kepadanya tentang kawin mut'ah, kemudian dia membolehkannya. Lantas seorang bekas hambanya bertanya: Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah wanita atau yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab: Ya!" (HR Bukhari)
Kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan sendiri, bahwa banyak orang-orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan ditarik kembali, demikian diriwayatkan Baihaqi dalam Zadul Ma'ad.
Editor : Syahrir Rasyid
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Bali
- Kepulauan Maluku