Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma & Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina
HARI Jumat ini adalah hari Jumat terakhir pada tahun 2022. Tak terasa, tinggal dua hari lagi tahun 2022 akan meninggalkan kita dan berganti dengan tahun baru yaitu tahun 2023.
Rasanya baru kemarin kita memasuki tahun 2022, dan kita pun membuat berbagai rencana yang akan dilakukan sepanjang tahun 2022. Rencana memperbaiki diri, meningkatkan kualitas ibadah, dan menjauhkan diri dari berbagai maksiat mungkin adalah beberapa di antara resolusi tahun 2022.
Namun, bagaimana kenyataannya?
Perbaikan diri masih jauh dari yang diharapkan. Kualitas ibadah pun belum meningkat, bahkan sebagian dari kita masih gemar bermaksiat. Bagaikan peribahasa, rencana dan aktualisasinya laksana panggang yang masih jauh dari api.
Sayangnya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tahun 2022 akan segera berakhir dan tahun 2023 pun akan segera datang. Walaupun resolusi 2022 belum dapat direalisasikan, apalah daya, kita pun tak mampu menahan kedatangan tahun 2023.
Begitulah kita, manusia memang selalu dalam keadaan merugi. Karena kita senantiasa lalai dalam memanfaatkan peluang sekaligus nikmat dari Allah SWT berupa kesehatan dan waktu luang. Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Dua nikmat yang dilalaikan oleh banyak manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari).
Manusia yang memiliki kedua nikmat tersebut di atas, namun tidak dapat memanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam rangka taat kepada Allah, maka dia laksana magbun, yakni orang yang mengalami kerugian dalam perniagaan.
Merugilah kita, apabila kesehatan dan waktu luang yang Allah berikan kepada kita berlalu begitu saja. Celakalah kita, apabila kita tidak memanfaatkan kesehatan dan waktu luang yang Allah berikan untuk beribadah kepada-Nya.
Untuk itu, di penghujung tahun 2022 ini, tidak ada kata terlambat bagi kita untuk segera kembali kepada Allah SWT, tanpa harus menunggu membuat resolusi dan tahun baru 2023. Karena sejatinya, hidup kita adalah hari ini, yang lalu tak mungkin kembali lagi, dan esok hari adalah misteri.
Untuk itu, tak perlu kita menunggu pergantian tahun baru untuk memperbaiki diri, karena ajal tak pernah dapat ditunda, dan kematian tak pernah dapat dihindari. Sebagaimana Allah mengingatkan kepada kita dalam Al-Qur’an surat Al-Ashr ayat 1-3 yang artinya:
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang yang beriman dan beramal shalih, dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”
Selama masih bernafas itu artinya kesempatan untuk berbuat baik masih Allah berikan. (Foto : Ist)
Berdasarkan surat di atas, tak ada satu pun manusia yang tidak mengalami kerugian. Semuanya merugi, kecuali apabila manusia tersebut beriman dan beramal shalih serta saling menasihati (dakwah) dalam kebenaran dan kesabaran.
Berbuat baiklah selagi kita diberikan kesempatan oleh Allah SWT. Selama kita masih bernafas, itu artinya kesempatan untuk berbuat baik masih Allah berikan. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pada ayat di atas, Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk bertakwa kepada-Nya, yakni dengan cara mengerjakan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya.
Selanjutnya Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa hendaknya setiap manusia menghitung-hitung dirinya sendiri sebelum dimintai pertanggungjawaban, dan perhatikanlah apa yang kita tabung buat diri kita berupa amal-amal shalih untuk bekal diri kita dikembalikan, yaitu hari dihadapkannya kita kepada Allah SWT.
Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir di atas, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk menghitung-hitung diri sendiri sebelum dimintai pertanggungjawaban. Istilah lainnya adalah kita diminta menghisab diri kita sebelum datang waktu penghisaban yang sesungguhnya, yiatu hari kiamat.
Muhasabah adalah proses menghitung-hitung amal baik kita dibandingkan dengan keburukan kita yang dilakukan sepanjang waktu. Muhasabah seperti ini hendaknya dilakukan setiap saat, tidak hanya menunggu momen pergantian tahun. Begitulah sikap orang yang pandai untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas amal shalihnya.
Hal ini senada dengan sabda Baginda Rasulullah SAW: “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Tirmidzi).
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : Dok Pribadi)
Sementara itu, sahabat Nabi SAW yakni Umar bin Khattab RA. menganjurkan kepada setiap muslim agar senantiasa menghisab dirinya sebelum datang yaumil hisab (hari penghisaban). Beliau berkata:
“Hisablah (introspeksi) diri kalian sebelum diri kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”
Setidaknya ada dua hal yang perlu dihitung-hitung saat kita muhasabah. Yang pertama adalah terkait dengan ibadah kita kepada Allah SWT. Kita harus ingat bahwa tujuan hidup kita di dunia ini tiada lain dan tiada bukan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah semata.
Sejauh mana ketaatan kita kepada Allah SWT dalam keseharian kita. Dari mulai kita bangun tidur hingga tidur lagi adalah kesempatan yang Allah SWT berikan kepada kita untuk melakukan berbagai ibadah. Sejalan dengan itu juga, kita harus menghisab diri kita terkait dengan seberapa banyak maksiat yang mampu kita tinggalkan selama kita terjaga.
Yang kedua adalah terkait hubungan kita kepada sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti akan berinteraksi dengan manusia yang lain. Manusia yang terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain.
Oleh karenanya, dalam kehidupan bersosial, hendaknya kita selalu memberikan manfaat bagi orang banyak. Keberadaan kita hendaknya harus mampu menjadi solusi bagi orang lain. Seberapa bermanfaatkah diri kita bagi manusia yang lain?
Demikianlah muhasabah dan urgensinya. Dengan muhasabah, maka kita akan mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas amal shalih kita. Kita akan termasuk ke dalam golongan orang yang pandai dan beruntung karena mampu memanfaatkan kesehatan serta waktu luang yang Allah SWT berikan kepada kita. (*)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Setiap muslim agar senantiasa menghisab dirinya sebelum datang hari penghisaban. (Foto : Ist)
Editor : Syahrir Rasyid