get app
inews
Aa Text
Read Next : PPN Naik Jadi 12 Persen Tahun Depan? Sri Mulyani Beri Sinyal

Tahun Depan, Utang Jatuh Tempo Indonesia Sebesar Rp800 Triliun, ini Penjelasan Menkeu Sri Mulyani

Jum'at, 07 Juni 2024 | 08:53 WIB
header img
Menkeu Sri Mulyani menjelaskan terkait pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp800 triliun pada 2025. (Foto: Instagram @smindrawati)

JAKARTA, iNewsSerpong.id - Menjawab Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie OFP, terkait besaran utang Indonesia, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp800 triliun pada 2025.

"Tadi mendengar penjelasan Bu Menteri, kalau kita hitung jatuh tempo 2025 itu Rp800 triliun, 2026 Rp800 triliun, 2027 Rp802 triliun, 2028 Rp228,719 triliun, 2029 Rp662 triliun. Jadi, kalau dihitung 5 tahun ke depan itu yang jatuh tempo adalah Rp3.783 triliun," ujar Dolfie dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR, Kamis (6/6/2024).

Dalam penjelasannya, Sri Mulyani menyatakan bahwa utang jatuh tempo yang besar pada 2025-2027 tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, ekonomi, dan politik Indonesia tetap stabil.

Pemegang Surat Utang

Ia menjelaskan bahwa jika surat utang RI tidak jatuh tempo, maka surat utang yang dipegang akan diperpanjang. Namun, jika stabilitas terganggu, pemegang surat utang RI bisa melepasnya dan meninggalkan Indonesia.

"Jadi, jatuh tempo yang terlihat tinggi pada 2025, 2026, dan 2027 tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, kebijakan fiskal, ekonomi, dan politik tetap stabil," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengingatkan bahwa tingginya pembayaran utang jatuh tempo disebabkan oleh pandemi Covid-19. Pada saat itu, Indonesia membutuhkan hampir Rp1.000 triliun tambahan belanja, sementara penerimaan negara turun 19 persen karena aktivitas ekonomi berhenti.

"Pada tahun 2020, maksimal jatuh tempo dari pandemi adalah 7 tahun, dan sekarang konsentrasi di 3 tahun terakhir 2025, 2026, dan 2027, sebagian pada 2028. Inilah yang kemudian menimbulkan persepsi seolah-olah utang menumpuk," ucapnya.

Menkeu juga menegaskan bahwa hal ini merupakan bagian dari skema burden sharing.

"Itu biaya pandemi berdasarkan kesepakatan antara kami dan BI untuk melakukan burden sharing agar neraca BI baik, fiskal tetap kredibel, dan politik juga dapat diterima. Kami sepakat dengan instrumen tersebut," tuturnya. (*)

 

 

 

Editor : Syahrir Rasyid

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut