Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. - Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
SAAT INI kita tengah berada di awal bulan Rabiul Awal 1446 H. Bulan dimana orang yang paling sempurna akhlaknya, Baginda Rasulullah SAW dilahirkan. Beliau dilahirkan pada hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau bertepatan dengan 20 April 571 M.
Oleh karena itu, bulan Rabiul Awal di Indonesia dikenal juga dengan sebutan bulan Maulid atau bulan Mulud. Kedua bulan di Indonesia tersebut memiliki makna yang sama yakni merujuk kepada bulan dimana Baginda Rasulullah SAW dilahirkan.
Ketika kita teringat akan maulid nabi, maka ada satu hal yang sebaiknya juga kita ingat yakni akhlakul karimah. Dalam sebuah hadits, Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlakul karimah.” (HR. Al-Baihaqi).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata akhlak berarti budi pekerti atau kelakuan, sedangkan karimah adalah baik atau terpuji. Dengan demikian, secara harfiah akhlakul karimah dapat diartikan sebagai perilaku yang baik atau budi pekerti yang terpuji (mulia).
Merujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi di atas, maka sejatinya ajaran yang dibawa oleh Baginda Rasulullah SAW adalah ajaran yang terkait dengan akhlakul karimah. Inilah misi utama yang dibawa oleh Baginda Rasulullah SAW di muka bumi ini.
Kemuliaan dan keagungan akhlak Baginda Rasulullah SAW dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4).
Ayat di atas dapat dimaknai bahwa umat Islam diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk berperilaku dan berbudi pekerti mulia atau berakhlakul karimah. Baginda Rasulullah SAW diutus oleh Allah Ta’ala untuk menjadi role model atau panutan alias suri teladan bagi seluruh umatnya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Dengan akhlakul karimah inilah, hidup dan kehidupan manusia di muka bumi akan selamat, tenteram, damai, bahagia, dan sejahtera bahkan hingga ke negeri akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Nabi Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya [21]: 107).
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
Cara Memperbaiki Akhlak
Sebagai manusia biasa, maka bisa jadi akhlak kita saat ini sering mengalami up and down. Terkadang berperilaku baik, namun di lain waktu terkadang berperilaku buruk. Di saat tertentu mungkin berbudi pekerti mulia, namun di saat yang berbeda bisa jadi berbudi pekerti tercela.
Namun demikian, kita tidak boleh membiarkan diri kita terus terjerembap ke dalam perilaku buruk atau budi pekerti tercela atau yang dikenal dengan akhlakul madzmumah. Kita harus bangkit dan berusaha untuk mempertahankan akhlakul karimah kapan pun dan di mana pun.
Untuk itu, mari kita simak firman Allah Ta’ala yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Dia (Allah) akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia menang dengan kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 70-71).
Menurut Prof. Dr. Quraish Shibab dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa dengan diawali selalu berkata yang benar dan jujur, maka niscaya Allah akan memberikan perkenan-Nya bagi kita untuk terbiasa melakukan kebajikan demi kebajikan dan Allah pun akan menghapus dosa-dosa kita.
Berkata benar dan jujur serta berperilaku dan melakukan kebajikan dalam aktivitas sehari-hari, itulah akhlakul karimah. Jadi, jika kita ingin memiliki akhlakul karimah maka biasakanlah berkata yang baik dan benar, jujur dan tidak berbohong.
Seseorang yang berakhlakul karimah, maka dia akan memiliki perilaku dan budi pekerti yang mulia dalam hubungannya terhadap Allah sebagai Tuhannya (Hablum Minallah), dan juga akan berperilaku dan berbudi pekerti yang mulia dalam hubungannya dengan sesama manusia (Hablum Minannas).
Akhlak kepada Allah Ta’ala
Dalam konteks Hablum Minallah, seseorang yang memiliki akhlakul karimah akan menyadari betul terhadap hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah. Adalah Muadz bin Jabbal, salah seorang sahabat Nabi yang mengabarkan sebuah hadits berikut yang diriwayatkan oleh banyak perawi.
Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Muadz! Tahukan engkau apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah?” Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Berkata benar dan jujur serta berperilaku dan melakukan kebajikan dalam aktivitas sehari-hari itulah akhlakul karimah. (Foto: Ist)
Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Hak Allah yang wajib dipenuhi para hamba-Nya ialah mereka hanya beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ialah sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
Muadz bertanya: “Wahai Rasulullah! Tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?” Baginda Rasulullah menjawab: “Janganlah kau sampaikan kabar gembira ini kepada mereka sehingga mereka akan bersikap menyandarkan diri (kepada hal ini dan tidak beramal shalih).”
Hadist di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Awanah, Ath-Thabrani, Abu Dawud ath-Thayalisi, dan masih banyak perawi lainnya. Namun dalam riwayat Al-Bukhari ada tambahan: “Lalu di akhir hayatnya, Muadz mengabarkan hadits ini (kepada manusia) karena takut dosa (menyembunyikan) ilmu.”
Seseorang yang berakhlakul karimah terhadap Allah, dia juga akan memiliki sikap ikhlas, ridha, tawakal, pandai bersyukur dan bersabar, serta taat kepada segala perintah dari Allah dan Rasul-Nya yang dijalankannya dengan sepenuh hati, tidak hanya sekedar formalitas belaka.
Akhlak kepada Sesama Manusia
Sementara itu, dalam konteks hubungannya dengan sesama manusia (Hablum Minannas), seseorang yang berakhlakul karimah akan memiliki perilaku dan budi pekerti yang disukai oleh banyak orang. Dia senantiasa menebarkan kebaikan, kasih sayang, kepedulian, dan hal-hal positif lainnya.
Akhlakul karimah akan tercermin dalam keseharian orang tersebut melalui perkataannya yang jujur dan menyejukkan, serta perilakunya yang sejalan dengan ucapannya. Tidak hanya itu, dia juga senang membantu dan menolong orang lain, amanah dan tidak berkhianat.
Lebih dari itu, akhlakul karimah juga ditunjukkannya melalui kepeduliannya terhadap lingkungan, menjaga kelestarian alam, dan tidak suka menyakiti atau menyiksa binatang. Jika terhadap makhluk Allah yang lain saja begitu mulia akhlaknya, maka pasti dia pun akan memiliki akhlak yang lebih mulia lagi terhadap sesama manusia.
Inilah konsep keseimbangan hidup orang-orang yang berakhlakul karimah. Menjaga hubungan baik dengan Allah sebagai Tuhannya, dan juga menjaga hubungan baik dengan manusia sebagai sesama makhluk Allah. Akhlakul karimah harus tercermin dalam kedua hubungan tersebut. (*)
Seseorang yang berakhlakul karimah memiliki perilaku dan budi pekerti yang mulia dalam hubungan dengan sesama manusia. (Foto: Ist)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor : Syahrir Rasyid