HIKMAH JUMAT : Membangun Generasi Rabbani

Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
HARI INI JUM’AT, 2 Mei 2025, bertepatan dengan peringatan hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025. Tema yang diangkat pada Hardiknas 2025 adalah: “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”.
Untuk itu, dalam rangka memeriahkan Hardiknas 2025 dan sebagai bentuk partisipasi dalam mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua, maka tema Hikmah Jum’at pekan ini membahas materi dengan judul: “Membangun Generasi Rabbani”.
Istilah generasi rabbani pertama kali muncul pada tahun 1990-an. Sudah cukup lama memang ide ini dibahas dan dicarikan formulasinya. Namun demikian, istilah ini masih sangat kontekstual dengan kondisi saat ini, dimana generasi rabbani masih menjadi generasi yang diidam-idamkan.
Salah satu terminologi dari generasi rabbani adalah generasi yang selalu berada di dalam koridor ajaran Islam, kaya jiwanya, mulia akhlaknya, dan mengajak orang lain untuk dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Islam menjadikan ilmu sebagai pondasi utama dalam membangun peradaban. Sejak wahyu pertama diturunkan, Islam telah menekankan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai jalan untuk mengenal Allah, memperbaiki diri, dan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Mari kita perhatikan wahyu pertama yang diturunkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yakni seruan untuk membaca: "Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq." Yang artinya: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." (QS. Al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat ini menunjukkan bahwa pendidikan dalam Islam dimulai dari perintah membaca, yang merupakan gerbang menuju ilmu pengetahuan. Membaca, baik ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah adalah langkah awal bagi seseorang untuk memiliki ilmu pengetahuan.
Dengan ilmu pengetahuan itu, Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, sebagaimana firman-Nya yang artinya: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).
Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya proses transmisi ilmu, tetapi juga proses pembentukan akhlak dan keimanan. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan beramal shalih.
Sementara itu, Baginda Rasulullah SAW sangat mendorong umatnya untuk mencari ilmu. Beliau bersabda: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah). Hadits ini menegaskan bahwa pendidikan tidak bersifat opsional, melainkan wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Baginda Rasulullah SAW juga mengatakan: "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa mencari ilmu dalam Islam bukan sekadar aktivitas duniawi, melainkan bagian dari ibadah dan jalan menuju keselamatan akhirat.
Oleh karena itu, tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah melahirkan insan kamil (manusia sempurna) yang memiliki keseimbangan antara aspek intelektual, spiritual, dan moral. Insan kamil inilah yang disebut dengan generasi rabbani.
Seorang muslim yang terdidik menjadi generasi rabbani seharusnya memiliki karakter hebat yakni bertauhid (memiliki keimanan yang lurus), berakhlak mulia, memiliki kecakapan ilmu dan amal, memiliki kesadaran sosial, serta berkomitmen terhadap keadilan dan kebenaran.
Dengan demikian, pendidikan dalam Islam tidak terbatas pada ilmu agama saja, tetapi juga mencakup ilmu dunia seperti matematika, kedokteran, teknik, ekonomi, dan lainnya, selama tidak bertentangan dengan syariat dan bermanfaat bagi umat.
Untuk membangun generasi rabbani tentulah tidak mudah. Namun, kita harus yakin jika seluruh komponen dalam pendidikan Islam berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, maka generasi rabbani bukan hanya sebatas mimpi.
Misalnya guru. Dalam Islam, guru memiliki kedudukan yang tinggi. Rasulullah SAW sendiri adalah pendidik utama umat Islam. Para sahabat belajar langsung dari beliau tidak hanya ilmu agama, tetapi juga etika, kepemimpinan, dan strategi kehidupan.
Selanjutnya orang tua. Dalam Islam, orang tua juga memiliki tanggung jawab utama dalam pendidikan anak-anak. Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Itu artinya, lingkungan pendidikan yang pertama dan utama adalah keluarga. Sejak dini, anak harus ditanamkan nilai-nilai Islam, akhlak, dan cinta terhadap ilmu. Orang tua jangan hanya mengandalkan guru dan mempercayakan sepenuhnya kepada sistem yang ada sekolah dalam mendidik anak-anaknya.
Guru dan orang tua wajib memahami, bahwa pendidikan dalam Islam tidak mengenal sekadar hafalan atau penguasaan materi semata, tetapi mencakup beberapa metode utama yang bersumber dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Di antara metode-metode utama tersebut adalah metode keteladanan yang baik (uswatun hasanah) dari orang tua beserta lingkungan keluarga dan guru beserta lingkungan sekolah. Baginda Rasulullah SAW adalah role model bagi setiap muslim untuk menjadi generasi rabbani (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Selanjutnya adalah metode nasihat dan pengarahan. Orang tua maupun guru harus mampu menasihati dan mengarahkan anak-anak atau muridnya agar berperilaku sesuai dengan tuntunan agama Islam. Tentu, sebelum menasihati, orang tua dan guru harus mampu menjadi teladan yang baik terlebih dahulu.
Metode ini digunakan oleh Luqman pada saat mengajari anaknya (QS. Luqman [31]: 13–19).
Metode yang lainnya adalah latihan dan pembiasaan. Anak dan murid dilatih secara berulang untuk membentuk karakter dan kebiasaan baik. Itulah mengapa, Baginda Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk mengajari anak-anak kita shalat sejak dini: “Ajarkan anak-anak shalat sedangkan dia berumur tujuh tahun.” (HR. At-Tirmidzi).
Yang terakhir adalah metode dialog dan diskusi ilmiah. Terkait metode ini, Al-Qur’an banyak memberikan penjelasan metode debat dan tanya jawab yang sehat sebagai cara pendidikan yang efektif. Salah satunya terdapat pada surat An-Nahl [16] ayat ke-125 yang artinya:
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Satu hal yang juga harus diingat adalah Islam mendorong umatnya untuk belajar sepanjang hayat. Tidak ada batas usia untuk menuntut ilmu. Imam Ahmad bin Hanbal belajar hingga usia tua, dan beliau mengatakan: "Saya akan mencari tinta sampai ke liang lahat."
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: "Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu." (QS. Thaha [20]: 114). Ayat ini adalah doa dari Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa pertambahan ilmu adalah permintaan yang sangat mulia dan terus-menerus.
Terakhir, penulis mengingatkan kepada seluruh pembaca Hikmah Jum’at yang budiman, bahwa di era modern ini, tantangan pendidikan semakin kompleks. Peran keluarga, lembaga pendidikan, dan negara sangat penting dalam mewujudkan sistem pendidikan Islam yang ideal untuk menghasilkan generasi rabbani. (*)
Wallahu a’lam bish-shawab
Editor : Syahrir Rasyid