JAKARTA, iNewsSerpong.id - Wilayah Tenabang atau sekarang yang lebih dikenal sebagai Tanah Abang sebagai bagian dari Kota Jakarta telah mempunyai sejarah yang panjang. Dibalik sejarah Tanah Abang ada beberapa cerita rakyat yang melenggenda disana. Salah satunya seorang penunggu di Jalan Kuburan Kareta, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kisah ini sebagaimana ditulis dari buku Tenabang Tempo Doeloe karya Abdul Chaer yang menjadi kisah mistis di era tahun 1950-an.
Wilayah ini mulai dikenal sejak 1648 ketika seorang konglomerat yang juga Kapiten China ketiga di Batavia bersama Phoa Beng Gam. Mereka mendapat izin dari VOC untuk membuka wilayah yang masih berupa hutan belantara untuk menjadi perkebunan tebu lengkap dengan penggilingan tebu dan pabrik gulanya.
Diceritakan ahli bahasa dan penulis ini dalam bukunya, kisah mistis ini digambarkan seorang warga Tanah Abang yang bernama Bang Salam. Saat itu, dia baru saja menurunkan penumpang di depan Masjid Tanah Abang yang tadi naik dari Karet gusuran (sekarang Jalan Sudirman). Hari hampir magrib. Bang Salam ingin segera tiba di rumahnya yang terletak di Karet Tengsin sebelum magrib.
Ia pun segera memutar balikkan delmannya dan memacu kudanya supaya berlari cepat. Tetapi jalan raya yang berlubang di sana-sini menyebabkan ia tidak bisa cepat memacu kudanya meskipun jalan sudah sepi. Di sepanjang jalan Karet di dekat Kebon Pala ia hanya berpapasan dengan satu-dua orang yang naik sepeda. Ketika tiba di Duku Pinggir, sebelum menyeberangi jembatan Kali Malang (Banjir Kanal), seorang nenek menyetop delmannya.
(Foto: Ist)
Sebenarnya Bang Salman tidak mau membawa penumpang lagi, tetapi karena nenek-nenek, maka ia merasa kasihan. Setelah nenek-nenek itu naik dan duduk di belakang, Bang Salman bertanya, “Mau kemana, Nek?”. “Terus sajalah jalan!” sahut si nenek. “Nanti saya bilangin.”
Bang Salman pun kembali memacu kudanya agar berlari cepat. Tiba-tiba di depan gerbang kantor polisi Karet Bivak, polisi penjaga pintu gerbang menyetopnya. “Ada apa, Pak?” tanya Bang Salman. “Kan sudah gelap, itu kok lampunya belum dipasang,” jawab polisi itu.
Bang Salman sadar bahwa memang lampu delmannya belum dipasang. Sebelum dia berbuat apa-apa, tiba-tiba penumpangnya nyeletuk, “Sudah, kok!” Ketika mendengar ucapan penumpangnya itu, Bang Salman dua kali kaget. Baca juga: Asal Usul Grogol Jakbar, Dulunya Tempat Bermukim Binatang Buas Pertama, ketika ia menoleh ke belakang ternyata penumpangnya bukan nenek-nenek tua, melainkan perempuan muda dan cantik.
Kedua, ia tidak merasa menyalakan lampu delmannya tetapi sudah menyala sendiri. Pak polisi pun tidak berbuat apa-apa lagi setelah melihat lampu delman menyala. Ia pun memerintahkan agar delman itu terus berjalan. Hati dan perasaan Bang Salman menjadi sangat tidak enak dengan kejadian nenek-nenek menjadi perempuan cantik dan lampu yang belum dipasang tiba-tiba telah menyala.
Belum jauh dari Bivak perasaannya bertambah tidak enak karena tiba-tiba lampu delmannya tidak menyala lagi. Dalam keadaan seperti itu ia menoleh kepada penumpang dan si penumpang tersenyum. Bang Salman pun bertanya memecah kesunyian, “Mau turun di mana, Neng?” Secara tidak sadar, Bang Salman mengucapkan kata “Neng” padahal sebelumnya “Nek”.
“Terus saja, Bang!” jawab si penumpang. Belum berapa lama berjalan, si penumpang berkata, “Turun di sini saja, Bang.” Sambil menahan lari kudanya, Bang Salman menoleh ke belakang. Lagi-lagi betapa kagetnya ia karena ternyata penumpang sudah tidak ada. Bang Salam menjadi takut lagi sewaktu mendengar suara “hi hi hi!” seorang wanita dari atas pohon kebun beng besar yang berada di pinggir jalan kuburan Karet.
Kini, kisah itu sudah mulai terlupakan oleh warga Jakarta. Kiranya yang sudah dialami oleh warga Tanah Abang ini juga dialami oleh semua warga penduduk di Jabodetabek saat bertandang ke wilayah Tanah Abang. Saat ini, lokasi tersebut sudah menjadi wilayah perkotaan modern. (*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait