JAKARTA, iNewsSerpong.id – Penolakan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) berembus semakin kencang berembus. Padahal, bagian dari upaya pemerintah mendorong realisasi program kepemilikan rumah masyarakat.
Potongan yang dibebankan dalam program Tapera mencapai 3 persen, dengan rincian 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja.
Kebijakan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera pada 20 Mei 2024, yang menyempurnakan ketentuan sebelumnya.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
Baik asosiasi pengusaha maupun buruh menolak kebijakan ini. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengkritik program ini karena dianggap hanya membebani buruh. Presiden KSPI, Said Iqbal, menilai manfaat program Tapera belum jelas, terutama apakah buruh bisa memiliki rumah setelah mengikuti program tersebut.
“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di-PHK,” katanya, Rabu (29/5/2024).
Sebagai informasi, gaji pekerja swasta selama ini sudah dipotong untuk BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, selain potongan Pajak Penghasilan (PPh).
Permintaan Sangat Besar
Persoalan kebutuhan dan suplai tempat tinggal di Indonesia memang menjadi isu yang rumit, salah satunya adalah persoalan backlog. Backlog merujuk pada jumlah unit perumahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang belum terpenuhi dalam suatu kawasan atau wilayah tertentu.
Dalam istilah properti, backlog pada perumahan merupakan kondisi kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk angka rumah yang tidak layak huni.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2023 mencatat kesenjangan angka backlog kepemilikan rumah sepanjang 2023 turun 5,72 persen menjadi 9,9 juta unit dari tahun sebelumnya yaitu 10,5 juta unit.
Angka backlog kelayakan hunian juga mengalami penurunan signifikan dari 16,14 juta unit (2022) menjadi 14,84 juta unit pada tahun 2023.
“Tren angka backlog kepemilikan rumah terus mengalami penurunan dari 12,75 juta unit pada tahun 2020 menjadi 12,72 juta unit di 2021. Angkanya berkurang lagi menjadi 10,51 juta unit pada tahun 2022 dan menjadi 9,95 juta unit di tahun 2023,” papar Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Iwan Suprijanto, dalam paparannya yang dikutip Rabu, 13 Desember 2023.
Dalam program Tapera, pemerintah mencanangkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) alias rumah subsidi bagi sektor swasta. Realisasi dana penyaluran FLPP ini mencapai Rp26,32 triliun pada 2023, disalurkan untuk 229 ribu unit rumah di seluruh Tanah Air.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, mendapatkan alokasi sebesar Rp13,72 triliun untuk program FLPP di 2024. Anggaran tersebut ditujukan untuk pembiayaan perumahan sebanyak 166.000 unit bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Melalui Anggaran FLPP
Pemerintah menargetkan melalui anggaran FLPP tahun 2024 dapat berkontribusi untuk penurunan backlog perumahan sebesar 1,3 persen dari total backlog sebanyak 12,7 juta rumah tangga.
"Pemerintah kembali mengalokasikan program FLPP sebesar Rp13,72 triliun, ini nantinya akan digunakan untuk penyaluran FLPP kepada 166 ribu unit rumah," ujar Herry dalam kesempatan yang sama. "Diharapkan memberikan kontribusi sebesar 1,3 persen terhadap backlog kepemilikan rumah MBR," pungkasnya.
Memasuki 2024, BP Tapera sudah menyalurkan 75.947 unit perumahan dengan nilai Rp9,22 triliun per 17 Mei 2024. Program ini bekerja sama dengan 35 bank di 33 provinsi dan 380 kabupaten/kota.
Pekerja swasta masih menjadi penerima utama program FLPP dengan presentase mencapai 77,85 persen, sementara ASN hanya menempati 3,78 persen penerima program dan TNI/Polri hanya 2 persen.
Studi Jakarta Property Institute pada April 2023 menyebutkan sejumlah faktor signifikan yang konsisten mempengaruhi kekurangan jumlah kepemilikan rumah, antara lain jumlah rumah tangga miskin, kemampuan membayar, dan kepadatan penduduk.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga berpendapat bahwa iuran Tapera belum cukup untuk mengatasi masalah backlog perumahan. Bahkan, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) yang telah disuntik penyertaan modal negara (PMN) jumbo, belum mampu menurunkan tingginya angka backlog di Indonesia.
“Persentase dan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian yang layak juga masih tinggi, meskipun mengalami penurunan,” terang Nailul. (*)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait