Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Ketua Program Studi Teknik Industri, Universitas Buddhi Dharma Tangerang
TERDAPAT BANYAK ibadah yang dilakukan umat Islam yang berdampak secara sosial maupun ekonomi. Salah satunya adalah ibadah kurban yang memiliki dampak sosial dan ekonomi luar biasa karena mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat di berbagai sektor.
Bagi umat Islam, ibadah kurban adalah pelaksanaan terhadap salah satu perintah yang disampaikan oleh Allah ta’ala melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al Kautsar ayat 1-3 yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”
Menurut pendapat sebagian besar ulama, ibadah kurban hukumnya wajib bagi yang memiliki kelapangan rezeki. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Barangsiapa yang memiliki kelapangan untuk berkurban tetapi tidak mau berkurban, janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Atas dasar itulah maka ibadah kurban dilakukan umat Islam setiap tahunnya. Ibadah kurban dilakukan setelah pelaksanaan shalat Idul Adha tepatnya di tanggal 10 Dzulhijjah, plus hari-hari tasyrik yaitu 11-13 Dzuhijjah tahun hijriyah.
Oleh karenanya, permintaan terhadap hewan kurban baik sapi, kambing, domba, maupun kerbau dengan berbagai jenisnya, senantiasa mengalami peningkatan permintaan yang signifikan disetiap bulan Dzulqa'dah hingga awal Dzulhijjah.
Kementerian Pertanian RI mencatat bahwa pada tahun 2022 yang lalu, kebutuhan hewan kurban adalah sebanyak 1,81 juta ekor, yang terdiri dari 695.574 ekor sapi, 733.784 ekor kambing, 364.393 ekor domba dan 19.652 ekor kerbau.
Pada tahun 2023, permintaan terhadap seluruh jenis hewan kurban kecuali kambing, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022. Permintaan terhadap hewan kurban sapi sebanyak 650.282 ekor, kambing 743.672 ekor, domba 332.770 dan kerbau 16.327 ekor.
Sementara itu, mengutip data dari Institute of Demographic and Poverty Studies (IDEAS), bahwa potensi ekonomi ibadah kurban pada tahun 2022 adalah sebesar Rp. 24,3 trilyun yang bersumber dari pengeluaran 2,17 juta umat Islam yang melakukan ibadah kurban.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto: Ist)
Pada tahun 2023, walaupun permintaan berbagai jenis hewan kurban mengalami penurunan, namun potensi ekonomi kurban pada 2023 adalah Rp. 24,5 trilyun. Namun, dari sisi jumlah pekurban mengalami penurunan menjadi 2,08 juta orang yang disebabkan oleh adanya resesi global yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
Menilik potensi ekonomi yang begitu besar dari ibadah kurban setiap tahunnya, maka untuk mengetahui siapa saja yang dapat berkontribusi dan berperan dalam memberikan nilai tambah, dapatlah dibuat analisis rantai nilai (value chain analysis) dari tata niaga atau bisnis hewan kurban.
Analisis rantai nilai dapat memberikan gambaran terhadap setiap tahapan proses bisnis dari mulai pengadaan, proses produksi, pemasaran, dan distribusi produk hingga sampai ke konsumen. Dengan kata lain, analisis rantai nilai dapat juga menjadi gambaran rantai cuan dari proses bisnis.
Dalam keterkaitannya dengan bisnis hewan kurban, maka analisis rantai nilai akan memberikan gambaran pihak-pihak mana saja yang berkontribusi dan memiliki peran dalam memberikan nilai tambah sekaligus mendapatkan cuan dari kegiatan bisnis hewan kurban.
Semakin panjang mata rantai nilai, maka semakin banyak pihak yang terlibat dalam rantai nilai bisnis hewan kurban. Hal ini dapat saja menimbulkan kemungkinan harga hewan kurban akan semakin tinggi. Dalam kondisi seperti ini, peternak dan pekurbanlah yang paling dirugikan.
Selain itu, kenaikan harga hewan kurban sering tidak diikuti oleh naiknya nilai tambah dari hewan kurban itu sendiri. Dengan kata lain, ada kecenderungan para pihak yang terlibat dalam rantai nilai bisnis hewan kurban melakukan aji mumpung untuk menumpuk cuan semata.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan berbagai pihak yang terlibat bisnis hewan kurban, maka terdapat beberapa model umum rantai nilai bisnis hewan kurban, dari mulai yang terpendek yakni peternak yang menjual langsung ke pekurban, hingga yang melalui jalur panjang.
Jalur terpendek adalah jalur terbaik, dimana peternak langsung menjual hewan ternaknya langsung kepada pekurban. Pada jalur pendek ini, peternak maupun pekurban memperoleh keuntungan yakni “harga terbaik” dari hewan kurban yang ditransaksikan.
Sementara itu, untuk rantai nilai terpanjang hewan kurban dari peternak akan dibeli terlebih dahulu oleh peternak penggemukan, kemudian ke pedagang pengepul atau Rumah Potong Hewan (RPH), pedagang eceran, terakhir di pekurban. Inilah rantai terpanjang dari bisnis hewan kurban.
Peternak adalah pihak pertama yang berkontribusi terhadap kualitas hewan kurban dari mulai pembibitan hingga siap jual ke pekurban. (Foto: Ist)
Terdapat juga jalur lainnya yang lebih panjang dari jalur terpendek, namun lebih pendek daripada jalur terpanjang. Jalur ini merupakan potongan-potongan saja dari jalur terpanjang, misalnya saja dari peternak ke pedagang eceran dan langsung ke pekurban.
Peternak adalah pihak pertama yang berkontribusi terhadap kualitas hewan kurban dari mulai pembibitan hingga siap jual ke pekurban. Namun demikian, ada juga hewan kurban yang dijual terlebih dahulu oleh peternak kepada peternak penggemukan.
Peternak penggemukan berperan sebagai pihak yang memberikan nilai tambah dari kualitas hewan kurban khususnya dari sisi bobot daging hewan kurban. Feedlot atau penggemukan atau biasa disebut fattening dilakukan dengan cara pemberian pakan dalam jumlah, komposisi dan kurun waktu tertentu, untuk mempercepat dan meningkatkan produksi daging hewan ternak.
Oleh karena itu, pekurban yang membeli hewan kurban melalui peternak penggemukan akan mendapatkan bobot hewan kurban yang bisa jadi lebih berat dibandingkan membeli langsung ke peternak pembibitan, namun harga hewan kurban dipastikan lebih tinggi.
Hewan kurban yang telah digemukkan, selanjutnya didistribusikan ke para pedagang pengepul di berbagai kota untuk dijual ke pekurban yang biasanya melalui pedagang eceran. Di jalur inilah terkadang risiko dari kualitas hewan kurban dipertaruhkan.
Hewan kurban yang sudah memiliki bobot ideal ketika keluar dari peternak atau penggemukan, terkadang tidak diperlakukan dengan baik selama di perjalanan atau di tempat penampungan sementara sebelum sampai ke tangan pekurban.
Kondisi di atas, menyebabkan hewan kurban mengalami penurunan bobot karena pengaruh pemberian pakan yang tidak sebagaimana mestinya. Selain itu, hewan kurban juga banyak yang terpapar penyakit karena faktor tempat penampungan yang tidak layak.
Pada mata rantai inilah harga hewan kurban mengalami kenaikan, padahal dari sisi kualitasnya cenderung mengalami penurunan. Di mata rantai inilah diperlukan campur tangan pemerintah khususnya dinas pertanian untuk terjun membina dan mengawasi para pedagang pengecer.
Pengawasan dan pembinaan ini menjadi penting karena jangan sampai hewan kurban mengalami penurunan kualitas, namun dari sisi harga justru mengalami kenaikan. Pekurbanlah yang akan mengalami kerugian.
Intervensi pemerintah perlu dilakukan agar rantai nilai bisnis hewan kurban tidak hanya menjadi rantai cuan semata bagi para pelaku bisnis antara (middle man), tetapi harus tetap memberikan kontribusi cuan yang adil bagi peternak dan kepuasan dari sisi kualitas bagi para pekurban. (*)
Menjaga kualitas hewan kurban butuh pengawasan dan pembinaan jangan sampai hewan kurban mengalami penurunan kualitas. (Foto: Ist)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait