Penulis : Dr. Abidin, S.T., M.Si. -- Dosen Universitas Buddhi Dharma; Ketua Umum Yayasan Bina Insan Madinah Catalina; & Ketua PCM Pagedangan, Tangerang
IDUL ADHA sudah di depan mata. Hari raya ini dikenal pula dengan sebutan Idul Kurban atau hari berkurban. Kurban adalah kata serapan dari bahasa Arab. Kata dasarnya adalah qariba – yaqrabu – qurbanan yang artinya adalah dekat, yakni mendekatkan diri atau sesuatu yang dekat.
Definisi asal dari kata kurban adalah setiap bentuk ketaatan yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, dalam konteks Idul Adha, definisi kurban identik dengan menyembelih hewan ternak tertentu yang halal pada Yaumun Nahr (10 – 13 Dzulhijjah).
Berbicara mengenai ibadah kurban, sejatinya kita diingatkan kembali kepada tiga orang tokoh sentral sekaligus teladan dalam ibadah kurban. Ketiga tokoh sentral dan teladan tersebut adalah Nabi Ibrahim A.S., Nabi Ismail A.S., dan Siti Hajar.
Nabi Ibrahim A.S. berpuluh-puluh tahun berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang akan melanjutkan perjuangan dakwah dan risalahnya kepada seluruh umat manusia. Doanya kemudian diabadikan oleh Allah: “Ya Tuhanku, berilah aku anak yang shalih.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 100).
Setelah sekian lama Nabi Ibrahim A.S. menanti kehadiran seorang anak, kemudian Allah menjawab doanya dengan kelahiran seorang anak yang diberi nama Ismail. Allah SWT berfirman: “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat cerdas lagi sabar.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 101).
Betapa bahagianya Nabi Ibrahim A.S. dengan kelahiran Ismail. Kelahiran Ismail bagi Nabi Ibrahim A.S., laksana hujan yang turun setelah kemarau panjang. Namun, di tengah kegembiraannya itu, Allah memerintahkan agar anak yang baru lahir itu diantar ke lembah sunyi yang tak berpenghuni.
Hancurlah hati Nabi Ibrahim A.S., karena harus berpisah dengan anak yang sudah puluhan tahun ditunggu kelahirannya. Kini, anak tersebut harus ditinggalkannya bersama ibunya di lembah yang kelak menjadi kota Mekkah Al Mukarramah.
Namun bagi Nabi Ibrahim, bumi boleh hancur, langit juga boleh runtuh, namun perintah Allah tetap harus dipikul dan dilaksanakan. Ismail dan Siti Hajar akhirnya ditinggalkan. Nabi Ibrahim A.S., rela mengorbankan kebahagiaan diri dan keluarganya demi melaksanakan perintah Allah SWT.
Dr. Abidin, S.T., M.Si. (Foto : iNewsSerpong)
Editor : Syahrir Rasyid
Artikel Terkait